Home
▼
Kamis, 24 Oktober 2013
Kajian 9 Kitab Taqrib: Perkara Membatalkan Wudhu
Di Rumah Ustadz Taufiq, Blok D2 / Ahad, 20 Oktober 2013
(فصل) والذي ينقض الوضوء ستة أشياء ما خرج من السبيلين والنوم على غير هيئة المتمكن وزوال العقل بسكر أو مرض ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل ومس فرج الآدمي بباطن الكف ومس حلقة دبره على الجديد
Artinya: Perkara yang membatalkan wudhu ada 6 (enam): sesuatu yang keluar dari dua jalan (depan belakang), tidur dalam keadaan tidak tetap, hilang akal karena mabuk atau sakit, sentuhan laki-laki pada wanita bukan mahram tanpa penghalang, menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan bagian dalam, menyentuh kawasan sekitar anus (dubur).
Penjelasan
1. Keluarnya Dari "Lubang Depan" dan "Lubang Belakang"
Apapun yang keluar dari lubang depan (penis) dan lubang belakang (anus) maka membatalkan wudhu, selain air mani karena menyebabkan wajibnya mandi (hadas besar) bukan menyebabkan batalnya wudhu menurut Imam Syafi'i.
Bagaimana jika keluar darah dari tempat lain atau keluar air seni karena adanya operasi?
Para fuqaha sedikit berbeda pendapat dalam masalah keluarnya darah dari tubuh (bukan hadih atau nifas). Sebagian mengatakan bahwa membatalkan bila keluarnya banyak, sedangkan yang lainnya mengatakan tidak membatalkan baik sedikit atau banyak.
Yang pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa keluarnya darah karena luka kecil bukanlah termasuk hal yang membatalkan wudhu dan juga karena yang dianggap membatalkan hanyalah darah yang mengalir keluar deras dari tubuh. Sedangkan satu atau dua titik di tubuh kita yang luka atau di gusi yang sakit, tidaklah merupakan hal yang membatalkan. Hal itulah yang dikatakan oleh Al-Hanafiyah dalam pendapat mereka tentang darah yang keluar dari tubuh kalau jumlahnya sedikit. Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Hanabilah meski dengan dalil-dalil yang tidak terlalu kuat. Karena hadits-hadits yang mereka ajukan umumnya lemah. Misalnya hadits “Setitik dua titik darah itu tidak mewajibkan wudhu’, kecuali bila darah itu mengalir.” Hadits ini dinilai sangat dhaif oleh Ibnu Hajar dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthuny.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah secara tegas mengatakan bahwa keluarnya darah dari tubuh sama sekali tidak membatalkan wudhu`. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yakni beliau pernah melakukan hijamah atau berbekam dan setelah itu beliau shalat tanpa berwudhu’ lagi. Hijamah adalah salah satu metode penyembuhan penyakit dengan cara mengeluarkan darah kotor yang berwana kehitaman. Cara ini dikenal sejak masa Rasulullah SAW hingga sekarang ini. Namun hadits yang menjelaskan hal itu terbilang dha`if yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthuny dan Al-Baihaqi sebagaimana tertuang di dalam kitab Nailul Authar halaman 189 jilid 1. Dalil lain yang digunakan adalah Ubad bin Bisyr yaitu: “Bahwa dia terkena anak panah dan melakukan shalat. Dia tetap meneruskan shalatnya.” (HR Bukari Ta`liqan, Abu daud dan Ibnu Huzaemah).
Dan tidak didapat keterangan dari Rasulullah SAW bahwa beliau diminta untuk mengulangi shalatnya, sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa keluarnya darah dari tubuh seseorang tidaklah membatalkan wudhu`nya.
2. Tidur Keadaan Tidak Tetap
Tidur ketika duduk yang dapat membatalkan wudhu adalah tidur yang tidak tetap posisi duduknya, misalnya ketika kita tertidur dalam posisi duduk begitu kaget posisi kita sudah berubah dari posisi awal. Nah, tidur yang semacam inilah yang dikatakan dalam kitab sebagai tidur yang “tidak dalam keadaan mutamakkin/غير هيئة المتمكن“. Tidur dalam keadaan duduk yang tidak mutamakkin (berubah posisi) adalah membatalkan wudhu.
Dalam sebagian naskah kitab yang lain ada tambahan kalimat, yaitu tidur yang membatalkan wudhu adalah “tidur yang tidak tetap posisi di atas tanah tempat duduknya, sehingga pada sebagian naskah kitab tertulis:
النوم على غير هيئة المتمكن من الارض بمقعده
Maksudnya apabila seseorang duduk di atas tanah dan tertidur, kemudian ketika terbangun posisi duduknya sudah berubah, maka wudhu’nya batal. Perlu diperhatikan bahwa walaupun dalam naskah kitab tersebut tertulis “duduk di atas tanah” bukan berarti jika kita duduk di atas tempat lain seperti kursi dan dipan tidak batal wudhu’nya. Tetap batal wudhunya, jika posisi duduk kita sudah berubah dari posisi awal.
Kemudian bagaimana dengan tidur dalam posisi berdiri atau berbaring?. Kedua-duanya dapat membatalkan wudhu’ sekalipun posisi kita tidak berubah. Jadi kalau kita tertidur dalam posisi berdiri atau berbaring maka kita harus mengambil wudhu’ lagi, karena sudah batal walaupun posisi kita tidak berubah.
Para mazhab berbeda pendapat mengenai tidur yang membatalkan.
a. Hanafiyah berpendapat, bahwa tidur itu sendiri tidak membatalakan wudhu’ tetapi cara orang itu tidur yang perlu diperhatikan.
1)Ia idur dengan berbaring miring
2)Ia tidur telentang di atas punggungnya
3)Ia tidur diatas salah satu pangkal pahanya
Wudhu’ seseorang menjadi batal, apabila dia tidur seperti yang disebutkan diatas. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya wudhu’ itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena bila dia tidur berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas) persendiannya.” (HR: Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad)
Hanafiyah menyamakan tidur berbaring dengan tidur telentang dan tidur di atas salah satu pangkal paha, karena persendiannya lunak, dan tidak dapat mengontrol apakah ia buang angin atau tidak.
Kemudian mereka mengatakan wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya dia tidur duduk tegak tidak bergeser dari tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini didasarkan keyakinan, bahwa persendiannya tidak merenggang yang memungkinkan dia berhadats (buang angin).
b. Malikiyah berpendapat, bahwa tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila seseorang tidurnya nyenyak, baik sebentar bmaupun lama, baik dalam keadaan berbaring, duduk, maupun sujud. Wudhu’ tidak batal, apabila seseorang tidur tidak nyenyak (tidur ringan).
c. Syafi’iyah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila orang itu tidak mantap duduk di tempatnya. Apabila duduknya mantap, tidak bergeser dan tidak renggang, maka wudhu’nya tidak batal. Demikian juga, wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya hanya sekedar mengantuk saja dan suara di sekitar masih disengarnya, walaupun tidak memahamminya dengan sempurna.
d. Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila dia tidur dalam keadaan bagaimanapun.
3. Hilang Akal Karena Mabuk atau Sakit
Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan, pingsan, mabuk, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran seseorang.
Mengenai hilang akal karena gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membatalkan wudhu’, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab lainnya yang membatalkan wudhu’.
4. Sentuhan Laki-laki pada perempuan bukan mahram tanpa penghalang
Syafi’iyaH berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah berusia lanjut atau masih muda.
Oleh golongan Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’.
Menurut Syafi’iyah wudhu’ juga menjadi batal apabila menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau tidak seperti pada golongan Malikiyah.
5. Menyentuh Kemaluan dengan Telapak Tangan
Yang dimaksudkan dengan menyentuh kemaluan adalah menyentuhnya tanpa adanya pembatas. Sedangkan apabila seseorang menyentuh kemaluan dengan pembatas misalnya dengan kain atau pakaian, maka itu tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi'i -pendapat beliau yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Terdapat pula hadits yang serupa dengan di atas dari Ummu Habibah, Abu Hurairah, Arwa binti Unais, 'Aisyah, Jabir, Zaid bin Kholid, dan 'Abdullah bin 'Amr.
6. Menyentuh Area Anus / Dubur
Menyentuh dubur, sebagaian ulam a’ menyamakan hukumnya dengan hukum menyentuh kemaluan. Namun pendapat yang kuat adalah dubur tidak bisa dianalogikan dengan kemaluan dengan dalih bahwa keduanya adalah sama-sama tempat keluar najis. Karena batal dan tidaknya wudhu seseorang yang menyentuh kemaluan bukan karena kenajisan, dan juga sudah dipahami bahwa menyentuh sesuatu yang najis bukanlah pembatal wudhu. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ats Tsauri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya