Home

Senin, 15 Februari 2016

Tafsir Jalalain Surat Al-Imron Ayat 1-10

Pengantar Kisah Keluarga Imron, Ayahnya Maryam
Masjid Al-Muhajirin Tjitra Mas Residence, 14 Pebruari 2016. Oleh Ustadz Muh. Khamdan, MA.Hum
1. Alif Lam Mim.
اللّهُ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
2. Allah, tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahahidup, Maha Berdiri Sendiri, yang karena-Nya segala sesuatu ada.
Surah ini diawali dengan penegasan tentang hal terpenting dalam penciptaan, yaitu tauhid, keesaan Allah. Alquran menegaskan bahwa hanya ada satu pencipta yang dari-Nya seluruh makhluk berasal. Sifat paling mulia dan gambaran paling agung tentang Sang Pencipta ini adalah bahwa Dia maha hidup dan maha berdiri sendiri. Ayat ini menjadi penghubung dengan akhir surat Al-Baqarah yang menjelaskan tentang keimanan.
Kalimat “Ya Hayyu Ya Qayum” diijazahkan dari Mbah Kholil Bangkalan Madura, sosok gurunya para kiyai Nusantara, sebagaimana diceritakan oleh Habib Assegaf, PP Nurul Iman Parung Bogor, dalam ceramah di Masjid Baitul Aziz, Desa Pelemkerep Mayong Jepara, untuk mengamalkan membaca “Ya Hayyu Ya Qayyum, La ilaha illa anta” sebanyak 40 kali sebelum sholat subuh.
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيل
3. Dia telah menurunkan Alquran kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya; dan Dia menurunkan Taurat dan Injil.
Dalam ayat ini Allah menyapa Nabi Muhammad dan seluruh pengikutnya. Alquran yang diturunkan kepada Muhammad memperkuat kebenaran kitab-kitab sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil.
Risalah dari kitab-kitab samawi berasal dari satu sumber yang sama, meskipun diturunkan pada waktu yang berbeda-beda, untuk peradaban dan budaya yang berbeda pula. Kitab Nabi Musa dan Nabi Isa hanyalah cocok untuk masanya, dan ajaran Nabi Isa menggantikan ajaran yang masih tersisa dari tradisi lisan Talmud kaum Yahudi.
Al-quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad menggantikan seluruh ajaran samawi terdahulu. Ia merupakan risalah terakhir, karena ia mencakup seluruh kesadaran kenabian. Bahasa Arab Alquran dan mata rantai pengajarannya menegaskan keotentikan dan keterpeliharaannya. Upaya-upaya untuk menafsirkan Alquran dan sunah Nabi untuk membenarkan prasangka pribadi, atau menguatkan perbuatan salah, terus berianjut. Meskipun demikian, Islam senantiasa terpelihara sebagaimana aslinya dan tingkah laku kaum muslim yang menggunting dalam lipatan ini selalu dapat dideteksi oleh siapa pun yang telah diberikan cahaya Islam.
مِن قَبْلُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَأَنزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِ اللّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ
4. Sebelum itu, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia menuninkan Kitab Pembeda. Sesungguhnya, orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan mem-peroleh siksa yang berat. Dan Allah Mahaperkasa, Maha Pembalas.
Alquran memiliki beberapa nama, dua di antaranya adalah "al-Kitab" (al-kitab) dan "Pembeda" (al-furqan). Alquran, kitab pengetahuan dan pernahaman, didasarkan atas pembedaaan antara yang hak dan yang batil. Dengan membaca kitab ini, kita belajar membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang kekal dan yang sementara.
Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan tentang Allah merupakan prioritas paling utama. Siapa pun yang mengingkari ayat-ayat Allah, siapa pun yang mengingkari bukti adanya Sang Pencipta, siapa pun yang mengingkari adanya saling ketergantungan segala sesuatu di alam ini, siapa pun yang mengingkari kekuasaan tunggal yang melahirkan beraneka ragam wujud, dan siapa pun yang secara terang-terangan menentang nilai-nilai atau sifat-sifat-Nya, berarti ia berada dalam keadaan menderita dan kesakitan, yaitu, memperoleh " siksa yang pedih" (adzab syadid).
إِنَّ اللّهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ
5. Sesungguhnya tak ada sesuatupun di Bumi maupun di langit yang tersembunyi di hadapan Allah.
Tak ada sesuatupun yang tersembunyi di hadapan Allah. Bagaimana mungkin seseorang dapat berpaling hingga meyakini bahwa Allah dan makhluk-Nya tidak ada? Di manakah ia dapat bersembunyi dari zat yang memberikan kehidupan kepadanya? Kemanapun ia pergi, sistem penunjang hidupnya selalu menyertainya. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa ia tidak mengetahui Allah—di tempat manakah Allah tidak ada? Jawabannya tentu tempat semacam itu tidak ada.
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
6. Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana yang Dia kebendaki; tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha perkasa, Maha bijaksana.
Manusia sendiri adalah sebuah bentuk, sebuah gambar, sebuah perwujudan dari Yang Maha Wujud. la merupakan contoh dari Yang Maha Wujud, karena dalam dirinya terkandung makna segala sesuatu yang ia alami. Ia adalah sebuah mikrokosmos alam. Jika dalam diri seseorang tidak terdapat potensi untuk memahami segala sesuatu yang berada di luar dirinya, bagaimana mungkin ia bisa memahami dunia luar? Dalam diri kita terdapat sebuah dunia kecil yang memungkinkan merenungi dunia luar yang makro.
Rahim dengan fungsi reproduksinya merupakan sebuah perwujudan nyata dan bukti langsung akan rahmat Allah yang tiada putus-putusnya. Kata "rahim" juga berarti "hubungan, pertalian kekeluargaan." Sangatlah penting bagi setiap orang untuk menunjukkan kasih sayang dan kedermawanannya kepada keluarganya.
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الألْبَابِ
7.
Dialah yang menurunkan al-Kitab kepadamu yang di dalamnya terkandung ayat-ayat yang jelas, itulah pokok-pokok isi Alquran; sedangkan yang lain merupakan ayat-ayat mutaysabih (belum jelas maksudnya). Orang-orang yang hatinya condong mengikuti ayat-ayat mutasyabih, mencari fitnah, dan mencari-cari takwilnya (sesuai pendapat mereka); namun tak ada seorang pun yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepadanya, semuanya itu dari sisi Tuban kami." Tak ada yang dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang bijak-pandai.
Kata "induk" (umm) juga berarti "ibu," menunjukkan bahwa ayat-ayat ini merupakan sumber atau induk dari Alquran. Mekah disebut "ibu kota" (
umm al-qura
) karena merupakan pusat perdagangan. Kata lain dalam Alquran yang memiliki hubungan yang erat dengan kata ini adalah ummi atau "buta huruf" (jamaknya ummiyyin), maknanya orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci, khususnya adalah orang-orang Mekah pada masa pra-Islam. Kata ini juga bermakna ketidakmampuan baca-tulis kebanyakan orang-orang Arab pada masa itu.
Ummiyyin juga berarti tidak terdidik secara formal, karena Nabi, sesuai tradisi, tidak pernah diajarkan baca-tulis bahkan ketika pewahyuan Alquran telah dimulai. Kendati demikian dikabarkan bahwa Nabi mampu berbicara beberapa dialek Arab dan mengerti beberapa bahasa asing, dan beliau sendiri mendorong upaya pengajaran baca-tulis. Banyak tawanan yang ditangkap oleh kaum muslim ditawari kesempatan untuk menebus dirinya dengan cara mengajarkan kaum muslim baca-tulis. Dikabarkan pula bahwa di setiap masjid dari sembilan masjid yang ada di Madinah ketika itu terdapat satu orang yang selalu siap mengajarkan orang-orang membaca dan menulis.
"Mereka yang hatinya tersesat” menyimpang dengan cara berpaling dari Yang Mahawujud. Melalui ilmu manusia mengetahui bahwa tak ada tempat berpaling dari jalan Allah, karena memang tidak ada jalan lain. Manusia berasal dari Allah, ia dipelihara oleh kemurahan Allah, dan akan kembali kepada Sang Sumber yang Mahakekal. Jika seluruh hatinya tidak menyatu dengan Yang Mahawujud, ia akan selalu berada dalam kebimbangan. Jika hati tidak menyatu dengan kesadaran tersebut maka sang hati akan menjadi bimbang.
Mereka yang hatinya mengembara menjadi lupa, bimbang, dan berselisih "dengan berusaba memberi penakwilan mereka sendiri." Mereka berbicara menuruti hawa nafsu mereka sendiri, "namun tak ada yang mengetahui penafsirannya kecuali Allah." Tak seorang pun mengetahui asal sesuatu kecuali Dia yang lebih dulu meletakkan akarnya dan "mereka yang mendalam ilmunya." Mereka yang mendalam imannya kepada Allah akan mengetahui lebih jauh makna perwujudan dari Yang Mahawujud. Seluruh kekuasaan, amal, dan sifat-sifat, berasal dari Tuhan dan Sang Pemelihara. Rahmat-Nya meliputi seluruh makhluk.
Ketika Ummu Salamah mendengar Nabi berdoa, "Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu," ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hati bisa berpaling lagi?" "Ya," beliau menjawab, "Allah telah menciptakan manusia dari anak cucu Adam namun hatinya berada di antara dua jari-Nya. Jika Dia menghendaki, Dia akan menjadikannya lurus, dan jika Dia menghendaki, Dia akan menjadikannya menyimpang." Manusia tidak bisa sombong terhadap imannya. Ia tidak dapat mengklaim bahwa ia mengetahui (karena ilmu yang lebih tinggi itu tidak terbatas), atau mengklaim bahwa umunya telah lengkap.
Beberapa ayat di dalam Alquran memiliki kandungan makna yang bersifat jelas sedangkan sebagian lainnya berbentuk pemmpamaan, sehingga maknanya tampak kurang jelas. Para penafsir Alquran sering memperkirakan apakah ayat-ayat tersebut termasuk kategori mutasyabihat atau tidak. Ketika Alquran diteliti sebagai satu kesatuan maka tidak akan ada ketidakjelasan; memang ada metafora dan simbolisme, namun bukan berarti metafora dan simbolisme itu tidak dapat dipahami: "Inilah ayat-ayat Alquran, ayat-ayat dari kitab yang jelas” (Q.S. 27:1). Para tokoh Ahlul Bayt meriwayatkan bahwa "Pernahaman Alquran adalah melalui Alquran itu sendiri, karena sebagian Alquran menerangkan sebagian lainnya." Alquran bersifat lengkap dan mengandung kesatuan makna dalam dirinya.
Allah menjelaskan kepada kita bahwa ayat-ayat yang muhkamat merupakan induk Alquran. Ayat mutasyabihat dapat dipahami dari penjelasan ayat lainnya. Sebagaimana kami nyatakan di awal, kata "induk" juga bermakna "ibu" ataupun "sumber, asal, dasar, hakikat, acuan." Kata lain yang berhubungan erat dengan kata ini memiliki makna "seseorang yang senantiasa bersikap netral terhadap lingkungannya." Kata ini merujuk kepada orang-orang Arab secara khusus, dan karena mereka tidak bisa membaca dan menulis, maka kata ini mengalami perluasan makna menjadi "buta huruf." Ketika kata ini digunakan dalam Alquran (Q.S. 7: 157) untuk menggambarkan Nabi Muhammad, makna sederhananya adalah bahwa beliau tidak dididik dalam pendidikan formal, namun beliau belajar langsung dari kehidupan dan sumbernya, dan karenanya beliau memiliki kemampuan dasar alami untuk "membaca." Penjelasan Alquran tentang ummi juga menegaskan bahwa meskipun Nabi tidak terdidik secara formal, namun otoritas beliau didasarkan atas pengetahuan wahyu.
Salah satu makna takwil adalah "pendapat." Jika misalnya, pada suatu hari yang mendung seseorang berkomentar bahwa hari tersebut cerah, mungkin yang ia maksud dengan pernyataannya tersebut adalah bahwa hari itu akan menguntungkan baginya. Sebaliknya, sang pendengar mungkin menafsirkan apa yang ia katakan sebagai sindiran tajam, karena langit jelas-jelas mendung. Selanjutnya orang pertama mungkin mengatakan kepada sang pendengar bahwa ia telah salah menafsirkan kata-kata sang pembicara (awwalta kalami). Ini menunjukkan bahwa sang pendengar telah menafsirkan ucapan pembicara sesuai keinginannya. Karenanya, pendapat pribadi dalam menafsirkan Alquran harus diwaspadai. Beberapa ayat tidak boleh ditakwil sedangkan ayat-ayat lain mengandung sejumlah makna yang luas dan mendalam. Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, banyak sekali perangkap yang dapat menjerumuskan penafsiran Alquran berdasarkan pendapat pribadi.
Contoh jelas dari ayat muhkamat adalah, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan aias orang-orang Sebelum kalian, agar kalian bertakwa” (Q.S. 2: 186). Tak ada keraguan dalam memahami ayat ini dan tak ada perbedaan pendapat tentang maknanya. Contoh ayat mutasyabihat adalah, "Kepada Tuhannyalah mereka melihat' (Q.S. 75: 23). Orang mungkin bertanya bagaimana hal ini mungkin, padahal Allah tidak bisa dilihat, sebagaimana firman-Nya kepada Musa: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku" (Q.S. 7: 143). Seorang alim membolehkan penafsiran ungkapan "melihat Allah" dengan pengetahuan tentang Allah. Ayat terakhir itu (Q.S. 7: 143) mendorong seseorang untuk merenungkan secara mendalam makna "melihat kepada" dalam Q.S. 75: 23, sehingga ia akan menemukan bahwa ungkapan ini juga berarti "mengarahkan perhatian seseorang kepada." Hadis-hadis Nabi juga bisa digunakan untuk memperkuat pernahaman terhadap Alquran. Berkaitan dengan kedua ayat ini sebuah hadis qudsi menyatakan, "Mata-mata Manusia tidak dapat melihat-Ku, namun mata hati hamba yang beriman dapat melihat-Ku."
Banyak ayat yang menggunakan istilah-istilah harfiah maupun kiasan ditafsirkan secara lahiriah dengan kurang hati-hati. Misalnya, kata "singgasana" ('arsy) dalam ayat, "Lalu Dia [Allah] bersemayam di atas arsy' (tsumma istawa 'ala al-arsy, Q.S. 10: 3). Secara lahiriyah, ayat ini menimbulkan kesan dalam pikiran seolah ada seorang raksasa yang bertindak seperti dalang untuk seluruh dunia ini, duduk di atas sebuah singgasana yang besar. Jika kita rnenyelidiki makna kata 'arsy, kita akan menemukan bahwa kata itu bermakna, "yang melandasi segala sesuatu yang tenang," dengan kata lain, kata ini bermakna sebuah fondasi. Contoh lain, disebutkan beberapa kali dalam Alquran, bahwa Allahlah pemilik segala kekayaan. Karena manusia menghargai perhiasannya yang kecil sekalipun, ia mungkin menafsirkan kekayaan Allah dengan sebuah tempat penyimpanan kekayaan yang sangat besar, penuh dengan kekayaan-Nya yang gemerlap. Padahal dalam kenyataannya, kekayaan Allah terdiri atas seluruh makhluk, meliputi apa yang dipahami oleh manusia maupun yang tidak dipahaminya.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
8. [Mereka berdoa]: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau biarkan hati kami tergelincir setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah pemberi karunia yang dermawan."
Orang-orang yang telah merasakan manisnya iman akan berdoa kepada Tuhan sekaligus pemelihara mereka agar hati mereka diberikan petunjuk. Karena telah merasakan manisnya iman dan telah melihat cahaya petunjuk (huda), maka mereka memberikan petunjuk kepada diri mereka sendiri. Doa mereka merupakan cermin dari niat mereka untuk melindungi diri mereka dan menjaga agar hati mereka tetap suci. Mereka memohon kepada Tuhan agar tidak membiarkan mereka tersesat setelah mereka melihat rahmat petunjuk, karena mereka mengakui petunjuk ini sebagai sebuah anugerah dari Allah, yang jika hilang, tidak bisa digantikan oleh apa pun.
ربّنا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَّ رَيْبَ فِيهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
9. "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya." Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya.
Orang-orang beriman tak memiliki keraguan sedikit pun terhadap ayat-ayat Allah, mereka pun tidak akan tunduk pada hawa nafsu mereka. Dengan mengingat Hari Pembalasan, mereka senantiasa sadar akan kesementaraan hidup ini. Ingat akan mati merupakan sarana menuju kebebasan dari kekangan nafsu dan dari upaya pembenaran terhadap adat kebiasaan. Memang wajar kita meneruskan adat kebiasaan masa lampau dan mencari alasan serta penjelasan yang tepat mengapa kita melakukannya. Jiwa kita memiliki kepandaian untuk membenarkan apa yang dunginkannya. Tanpa kembali pada Sang Sumber sebagai titik acuannya, orang akan selalu mencari pembenaran bagi segala tindakannya. Titik acuan tersebut hanya bisa dihidupkan jika kita tunduk kepada Allah dan selalu berada dalam keadaan sadar. Jika pada saat marah, syak, tamak, atau bimbang, seseorang mampu meredam segalanya dan beralih kepada ketenangan batin dan ketundukan total, maka ia akan mampu memperbaiki amalnya. Pengendalian emosi dalam diri akan memberikan hasil positif bagi arah kehidupan seseorang.
Ayat ini menegaskan pada kita bahwa mereka yang beriman dan mendalam pengetahuannya (rasikhun fi al-'ilm) senantiasa ingat bahwa mereka akan dikumpulkan pada Hari Pembalasan. Orang yang hidup dalam keadaan selalu ingat seperti ini akan hidup dalam kondisi yang meskipun terpisah dari Sang Pencipta namun selalu berhubungan dengan-Nya dan kapanpun siap menghadapi pengadilan-Nya. la tidak akan diperbudak oleh dunia dengan segala perhiasan dan pesonanya. Ia hidup sebagai seorang yang bebas karena ia hanyalah hamba Allah semata.
إِنَّ اَلَّذِينَ كَفَرُواْ لَن تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلاَأَوْلاَدُهُم مِّنَ اللّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
10. Sesungguhnya orang-orang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.
Jalan hidup yang ditempuh orang-orang beriman berlawanan dengan jalan hidup orang-orang yang kafir terhadap Allah. Orang-orang kafir gagal dalam memahami makna kematian, dan kurang percaya atau bahkan tidak percaya sama sekali akan pembalasan setelah kematian. Siapa pun yang mengingkari bahwa seluruh makhluk berasal, dipelihara, dan bertanggungjawab kepada satu-satunya Sang Pencipta, tidak bisa meminta pertolongan kepada kekayaan ataupun keturunannya—ia adalah "bahan bakar api neraka" (waqud al-nar). Seluruh perjalanan hidup manusia di alam fisik ini tunduk pada perubahan yang tiada henti. Karenanya, sebagian orang mencari perlindungan dengan cara menumpuk kekayaan. Tentu saja, pengumpulan harta yang demikian ini boleh jadi menghasilkan perasaan aman atau senang, namun ketika seseorang berhasil mengumpulkan kekayaan materi, maka muncullah perasaan tidak aman dan persoalan-persoalan lainnya.
Pernahaman, ilmu, dan tingkah laku kita sangatlah bergantung pada kondisi hati kita. Semakin keras hati kita, semakin mekanis dan semakin tak terinspirasilah kehidupan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya