Mari Makmurkan Masjid dengan Sholat Berjamaah di Masjid
Jumat, 19 Agustus 2016
Tirakatan Kemerdekaan
Dekat Ulama Untuk Keberkahan Negara
Pengajian Kitab Nashoihul Ibad, bab Tsunai pada Maqolah 2-3.
di Masjid Tjitra Mas, Bogor, 14 Agustus 2016
Oleh. Ustadz Muh. Khamdan, MA.Hum
Sudah menjadi bagian dari kegiatan memperingati hari kemerdekaan pada sekelompok masyarakat Indonesia adalah Malam Tirakatan. Kegiatan di malam tanggal 17 Agustus yang dilakukan dengan beragam acara. Ada yang dengan doa bersama, ada yang mengenang cerita perjuangan masa lalu melalui cerita para saksi sejarah atau veteran, dan ada juga yang melakukan dengan makan bersama seluruh masyarakat.
Tirakatan sesungguhnya proses untuk mengintrospeksi diri melalui upaya kembali pada jalan yang benar. Oleh karena itu, tirakatan dimaksudkan sebagai proses membuka kembali tujuan hidup. Kata tirakatan sendiri berasal dari kata Arab, Thariqatan atau Thariqah dengan asal kata Thariq yang memiliki arti jalan. Dengan demikian terdapat titik temu bahwa acara Malam Tirakatan yang dilakukan para sesepuh masyarakat memiliki maksud untuk mengukur capaian-capaian tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apa sesungguhnya tujuan hidup bersama itu?
Para pejuang bangsa selalu memiliki tujuan untuk hidup mulia atau mati syahid. Menjadi mulia adalah hidup dengan kemandirian di segala bidang, yang kemudian diwujudkan dalam konsep trisakti berupa mandiri di bidang ekonomi, mandiri di bidang politik, dan mandiri di bidang budaya. Kini di setiap jelang hari kemerdekaan, masih saja terasakan keadaan bangsa yang masih jauh dari keadaan mandiri, bahkan seolah hilang dari makna keberkahan.
Rasulullah SAW bersabda bahwa "Akan tiba suatu masa pada Umat Nabi Muhammad yang saling menjauh dari ulama dan ahli fiqih. Maka Allah akan memberi 3 jenis cobaan, yaitu hilangnya keberkahan ekonomi, berkuasanya pemimpin yang dzalim, dan meninggal tanpa membawa iman". Hadis ini kiranya kontekstual dengan kondisi berbangsa dan bernegara, yang sengaja atau tidak sengaja telah menjauhkan peran dan posisi ulama.
Masyarakat semakin bingung dengan kriteria ulama yang harus diteladani. Satu sisi seringkali muncul ulama yang lebih politis daripada politisi itu sendiri, pada sisi yang lainnya juga tampil lebih dari sekadar selebritis yang dilahirkan dari infotainment media. Bahkan muncul pula ulama yang berperan sebagai polisi swasta dengan terlalu mudah menuduh kafir, sesat, bid'ah, dan orang lain masuk neraka. Sosok ulama yang sesungguhnya sudah semakin bias, seiring masyarakat yang semakin menjauh dari ulama untuk belajar agama secara langsung dan digantikan belajar dari google maupun youtube. Tak heran jika yang berkembang dalam model keberagamaan semacam ini adalah menganggap orang lain salah, sesat, dan pudarnya sikap toleran.
Sejarah perjuangan bangsa seolah juga telah menjauhkan dari peran ulama dan santri. Seorang pejuang ulama bernama KH. Abdul Hamid yang lahir di Tegalrejo, Magelang, misalnya, telah melakukan aksi perlawanan terhadap kolonial Belanda sepanjang 1825-1830. Aksi gerilya yang dilakukan sepanjang karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen) menjadikan kas Belanda bangkrut. Sosok keturunan Hamengkubuwono ke-3 ini dikenal dengan Pangeran Diponegoro.
Seorang mursyid Thariqah Qadiriyah yang selalu mengenakan sorban putih ini memiliki nama lengkap KH. Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Sayyidin Panotogomo Amirul Mu'minin Khalifatullah Tanah Jawi. Dimakamkan di Makasar, Sulawesi Selatan. Dalam salah satu rumah di Magelang, Pangeran Diponegoro menyimpan 3 buah peninggalannya, yaitu Qur'an, tasbih, dan kitab Taqrib (Fathul Qarib). Hal ini menunjukkan bahwa pribadi sang Mursyid Thariqah ini adalah muslim ahli dzikir sekaligus bermazhab Syafi'i, sebagaimana keberadaan kitab kuning yang ditulis Imam Abi Syuja' Al-Isfahany dan menjadi kitab dasar bagi santri pemula di pesantren-pesantren NUsantara sampai saat ini.
Sejarah santri juga menjauh dari sosok Raden Ajeng Kartini. Perempuan yang lahir di Mayong, Jepara ini adalah murid dari KH. Shaleh Darat. RA. Kartini yang belum mengetahui makna Al-Qur'an meminta agar gurunya tersebut bersedia menuliskan tafsir untuk menjelaskan Al-Qur'an dengan bahasa Jawa bertuliskan Arab pegon. Oleh karena itu, muncullah Tafsir Qur'an berbahasa jawa untuk pertama kali di NUsantara yang diberikan oleh KH. Shaleh Darat sebagai hadiah pernikahan RA. Kartini. Dari sini selalu diungkapkan oleh Kartini dari Surat Al-Baqarah ayat 257 "minaddzulumati ilannur" atau dari gelap menuju terang benderang, yang kemudian dikenal Habis Gelap Terbitlah Terang.
Wujud nasionalisme keagamaan juga dilakukan oleh keturunan Rasulullah dari Kauman Semarang, Habib Husein Al-Muthahar. Sayyid Husein ini menjadi pengarang lagu Syukur dan lagu yang setiap hari kemerdekaan dinyanyikan masyarakat berbunyi:
17 Agustus Tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia
Merdeka...
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia
Membela Negara kita.
Pesan Nabi bahwa Allah akan menguji umatnya jika menjauh dari ulama, kiranya perlu menjadi perenungan bersama. Jika bukan hilang keberkahan ekonomi, bisa jadi ujian yang Allah berikan di pertambahan tahun kemerdekaan adalah pemimpin dzalim yang menjadikan negara dan masyarakat salah urus.
Shalih Pribadi dan Shalih Sosial
Pengajian Kitab Nashoihul Ibad, bab Tsuna'i, maqalah kesatu.
di Masjid Tjitra Mas Residence- Bogor, 7 Agustus 2016.
Oleh Ustadz Muh. Khamdan, MA.Hum
Dalam segala perintah Allah, akan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu mengagungkan Tuhan dan amanat untuk welas asih pada semua makhluknya. Di sinilah muncul rumusan bahwa seseorang harus melaksanakan laku shalih pribadi dan shalih sosial. Shalih adalah laku yang memiliki manfaat dan kebaikan.
Sholih pribadi terkait dengan ketekunan ibadah dan keimanan seseorang pada Tuhan. Shalih pada peran ini tentu fokus pada pengagungan Allah, yang bisa jadi belum memiliki manfaat bagi orang lain. Sholat misalnya, kenikmatannya tentu hanya dirasakan bagi yang sholat. Puasa misalnya, pahalanya pun hanya dikhususkan bagi orang yang puasa. Ibadah-ibadah yang fokus pada Tuhan sesunggguhnya hanya mengagungkan Allah semata.
Bisa jadi, orang mengejar berulangkali berangkat haji tapi melupakan kemiskinan atau tingkat kelaparan tetangga sekitarnya. Berulangkali umrah, tetapi mengabaikan tingkat pendidikan masyarakat sekitar yang terhimpit ekonomi sehingga putus sekolah. Bahkan, jika sedang terburu-buru berangkat ke masjid untuk shalat jumat namun di jalan berjumpa orang yang mengalami kecelakan, maka memunculkan kegamangan apakah tetap melanjutkan sholat jumat atau membantu kecelakan untuk mengantar korban ke rumah sakit. Bagi yang mementingkan sholih individu tentu akan "egois" jumatan, haji, dan umrah.
Shalih pribadi penting ketika diinteraksikan dengan orang lain. Sholat yang dilakukan sendiri hanya dinikmati sendiri, sehingga sangat dianjurkan berjamaah untuk dapat menghargai perbedaan dan menumbuhkan empati pada orang lain. Tidak sekadar rajin ibadah tetapi mengabaikan peran dan posisi orang lain, sebagaimana dianjurkannya berjamaah untuk tidak menjadi egois atau masuk surga sendiri
Pada tataran shalih sosial, seseorang bukan hanya melaksanakan ritual pengangungan terhadap Tuhan tetapi juga memperhatikan sisi kemanusiaan dengan makhlukNya. Konteks ini menganjurkan terwujudnya kolektivitas ibadah yang berfungsi sebagai perwujudan rahmatan lil alamin bagi semua makhluk.
Ketika Allah memerintahkan hambaNya berbuat baik, sesungguhnya mengingatkan untuk berbuat welas asih dan bersikap sesuai naluri manusia atau manusiawi. Perintah Allah bukanlah untuk kepentingan Allah tetapi untuk kebaikan manusia sendiri.
Rasulullah bersabda "Barangsiapa pada pagi hari berniat untuk tidak mendzalimi orang lain maka diampunilah dosa orang tersebut, serta yang berniat memberikan manfaat dengan memenuhi hajat atau menyenangkan orang muslim maka seolah-olah mendapatkan pahala haji mabrur". Hadis ini mengamanatkan bahwa lebih utamanya shalih sosial daripada sekadar ritual ibadah pribadi. Hal ini lebih dijelaskan dalam hadis lain bahwa "Allah lebih mencintai hambaNya yang bermanfaat bagi orang lain, dan amal yang paling baik adalah menyenangkan hati orang lain dengan menghilangkan kesusahan orang lain".
Oleh karena itu Allah bukan sekadar disembah-sembah, tetapi justru menyukai seseorang yang bisa membahagiakan orang lain, atau bukan sekadar shalih pribadi tetapi juga shalih sosial.
Masjid dan Dunia Anak
Umar, anak saya yang berusia 3,5 tahun, setiap ditanya "kakak sekolah ya?", maka dijawab olehnya "iya ke masjid". Demikian juga kalau ditanya, "kakak kalau main kemana?", maka dijawab olehnya "ke masjid".
Tidak ada pemaksaan membawa anak ke masjid. Tetapi secara tidak sadar nalar berfikir anak pertama, yang kemudian diikuti adiknya, Mush'ab 'Ammar yang berusia 1 tahun 2 bulan, tempat paling menyenangkan adalah masjid. Belajar, bermain, dan ajakan pada orangtuanya adalah pergi ke masjid. Setiap Buya "panggilan padaku"-nya sudah memakai sarung, spontan berebut minta digendong, karena sangkanya akan ke masjid.
Kebahagiaan dan keceriaan anak akan tampak di masjid. Bertemu banyak orang, tempatnya lapang, terang, dan tentunya bersih tanpa sampah terpandang. Pantas anak-anak merasa nyaman berada di masjid dengan beragam aktivitas.
Dalam riwayat Imam Nasa'i, Imam Ahmad, dan Imam Hakim, Rasulullah dalam jamaah shalat dzuhur atau shalat ashar pernah ruku' dan sujud dengan waktu yang sangat lama. Ini terjadi karena cucu tercinta Nabi, Hasan bin Ali, menaiki punggung baginda ketika ruku'. Secara bergantian cucu yang lebih kecil, Husain bin Ali, menaiki punggung baginda ketika sujud. Maka, Rasulullah selesai shalat minta maaf kepada para jamaah karena tidak ingin cucu-cucu beliau kecewa dan bisa puas bermain menunggangi punggung beliau sehingga memperlama ruku' dan sujudnya.
Tentu dapat dibayangkan bahwa cucu Nabi sudah dibiasakan ke masjid, bahkan menikmati bermain di kala Nabi sedang menjadi imam dalam shalat jamaah fardhu. Tentu ada sisi pengawasan bahwa anak-anak tidak mengotori, tidak menjadikan najis, dan tidak keterlaluan dalam gaduh dan tangisan. Betapa generasi awal Islam telah menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, terlebih pusat kaderisasi sejak masa anak-anak.
Masjid harus mampu memberikan pendidikan alternatif bagi masyarakat. Sisi keteladanan tentu akan menjadi pembelajaran terbaik bagi anak. Tempat yang bersih jelas mengajari anak untuk hidup bersih. Tempat banyak orang jelas mengajari anak untuk hidup menghormati, mudah bersosialisasi, berani tampil di muka umum, pun lebih cepat mengenal karakter beragam orang. Belum lagi rangkaian kegiatan yang ada, pada akhirnya menimbulkan anggapan bahwa sekolah itu ke masjid, dan masjid adalah sekolah.
Tak heran, ulama NUsantara di masa dulu menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan anak. Lahir Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) dengan beragam sanad metode pembelajaran Baca Tulis Al-Qur'an (BTA) di serambi maupun sisi samping sekitar masjid. Berkembang pula Madrasah Diniyah sebagai kelanjutan dari alumni TPQ dengan pendalaman ilmu ketuhanan (Tauhid), moralitas (akhlaq), ibadah (fiqih), sejarah keagamaan (tarikh), ilmu tata bahasa Arab (nahwu dan shorof), sampai pada kesenian kaligrafi dan nagham tilawatil Qur'an. Oleh karenanya, generasi yang pernah merasakan kaderisasi yang terpusat dari masjid tentu tidak akan mengalami situasi "kagetan" dengan perbedaan karena sudah terbiasa menerima dunia yang berbeda-beda.
Sayangnya, kini banyak masjid yang menjadi "seram" bagi dunia anak-anak. Melarang membawa anak ke masjid karena membuat gaduh, memasang banyak tulisan "dilarang gaduh", dan membuat kesan seolah masjid hanya untuk sholat sehingga kegiatan-kegiatan di luar itu adalah cenderung bid'ah atau menodai sakralitasnya. Masjid, terorganisir atau tidak, seolah dicipta untuk menjadi sepi. Banyak yang ramai membangun masjid dan meminta bantuan, tetapi menjauhkan program kaderisasi santri dan ulama.
Beruntung saya pernah merasakan masjid sebagai tempat yang menyenangkan. Menunggangi ayah yang memimpin jamaah shalat, mengganggu naik ke meja kecil ketika ayah mengajar ngaji, dan mungkin juga gaduh ketika para bapak-bapak shalat berjamaah. Persis, seperti yang dilakukan dua jagoanku saat ini, Umar dan Ammar.
Muh. Khamdan
Depok, 2 Agustus 2016
Pembukaan Pengajian Kitab Nashoihul Ibad, bab Muqaddimah.
(Muqoddimah Nasehat-Nasehat Bagi Ahli Ibadah)
Oleh Ustadz Muh. Khamdan, MA.Hum
Ahad malam Senin bakda Maghrib, Masjid Tjitra Mas Residence, 31 Juli 2016.
Kitabnya tipis dengan 80 halaman, tetapi mengandung amanat pesan yang sungguh luar biasa. Itulah Kitab Nashoihul Ibad, yang ditulis oleh ulama Nusantara, Nawawi Al-Bantany pada tahun 1800-an. Ulama yang juga menjadi bagian dari imam tanah haromain ini dimakamkan di pemakaman Baqi', Madinah. Tempat keluarga besar Nabi dimakamkan, dari ummul mukminin Aisyah, Fatimah, Hasan bin Ali, Ali bin Husain, Ibrahim bin Muhammad, Halimah Sya'diyah, Abbas bin Abdul Mutholib, sampai sahabat Utsman bin Affan dan Abdurrahman Auf.
Kitab Nashoihul Ibad sesungguhnya penjelasan dari kitab yang ditulis oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalany (773 H) atau 700 tahun yang lalu. Berisikan pembahasan 214 hadis, yang terbagi atas 10 bagian sesuai jumlah perkara dari masing-masing hadis.
Ibnu Hajar Al-Asqalany sendiri adalah ulama yang lahir di daerah Asqalan, Mesir. Mendapatkan gelar Al-Hafidz karena hafal 100 ribu hadis beserta isi hadisnya (dirayah) dan pribadi-pribadi orang yang meriwayatkan hadis (riwayah). Gelar yang di zaman modern ini hanya disandang oleh Habib Umar bin Hafidz dari Yaman, guru dari Habib Mundzir Al-Musawa, pimpinan Majelis Rasulullah Jakarta.
Dalam ilmu hadis, penguasaan terhadap tingkat kehafalan hadis dari sisi dirayah dan riwayah memiliki kategorisasi sendiri.
Pertama, amirul mukminin. Gelar ini diperuntukkan bagi kalangan sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi secara langsung, dan juga untuk kelompok setelahnya yang masih bertemu langsung dengan sahabat dalam periwayatan hadis. Kalangan ini seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abu Hurairoh, dan Abdullah bin Umar. Tentu penguasaan hadisnya melampaui jutaan karena menjadi saksi langsung bersama Rasulullah.
Kedua, Al-Hakim. Gelar ini untuk menyebut tokoh yang menguasai hadis secara dirayah dan riwayah dalam kisaran diatas 1 juta. Sosok seperti Imam Malik yang lahir sekitar 90 H, memiliki guru sebanyak 900 orang dari kalangan tabi'in, dan mengawali penulisan hadis ratusan ribu dengan judul Al-Muwatha'. Imam Maliki dengan Imam Hanafi yang kemudian menjadi imam mazhab itu, sezaman dan belajar pada guru yang sama yaitu Imam Nafi' yang masih bertemu sahabat Anas bin Malik. Demikian juga muridnya Imam Malik, Imam Syafi'i yang lahir pada 150 H, memiliki penguasaan hafalan hadis yang sangat tinggi sehingga muncul sosok-sosok murid seperti Imam Ahmad bin Hambal yang lahir 164 H di Iraq dengan tingkat hafalan sekitar 1 juta hadis, atau Imam Bukhari yang lahir di Uzbekistan pada 194 H.
Ketiga, Hujjatul Islam. Gelar ini diberikan pada tokoh yang memiliki tingkat hafalan sekitar 300 ribu. Salah satunya adalah Imam Ghazali yang menulis kitab Ihya' Ulumuddin.
Keempat, Al-Khafidz. Gelar yang diberikan pada tokoh yang hafal 100 ribu hadis dengan matan dan periwayatannya. Pada posisi inilah Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, yang menulis syarah shohih bukhori dengan judul kitab Fathul Barri dan kitab hadis di bidang fiqih berjudul Bulughul Marom. Di Indonesia, tokoh yang dikenal dengan gelar Al-Khafidz yaitu Habib Alo bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Salim bin Jindan (Otista) yang menjadi gurunya Kyai Abdullah Syafi'i, dan Habib Abdullah bin Abdulqadir Balfaqih (Malang).
Selain kategorisasi tersebut, dikenal juga para muhaddis sekaligus perawi dalam kelompok kutubussittah atau 6 kitab hadis utama, yang justru bukan dari bangsa Arab. 1) Imam Bukhari yang lahir di Uzbekistan pada 194 H. 2) Imam Muslim yang lahir di Iran pada 204 H. 3) Imam Dawud yang lahir di Afghanistan pada 202 H. 4) Imam Tirmidzi yang lahir di Tajikistan pada 209 H. 5) Imam Nasa'i yang lahir di Khurasan pada 215 H. 6) Imam Ibn Majah yang lahir di Iran pada 209 H.
Muallif Syeikh Nawawi Al-Bantany mengawali pembukaan kitab dengan puji syukur pada Allah dan shalawat pada Nabi Muhammad, seraya berdoa semoga diberikan kasih sayang dan ampunan pada seluruh umat Nabi Muhammad.
MTQ dan Ulama Bela Negara
Perhelatan akbar tentang kemampuan di bidang Qur'an sedang berlangsung di Lombok, NTB, pada 30 Juli sampai 6 Agustus. Daerah yang seringkali disebut dengan Kota Seribu Masjid, sepadan dengan Kairo yang identik dengan Kota Seribu Menara.
Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) merupakan even yang mula-mula diadakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) melalui Jamiyatul Qurra' wal Huffadz (JQH) yang tersebar di berbagai daerah pada masa 1940. Oleh Menteri Agama saat itu, KH. Wahid Hasyim yang juga ayahnya Gusdur, JQH dipersatukan melalui kongres nasional pada 1953. Hal ini tentu dipengaruhi semakin kerasnya pertarungan ideologi kelompok nasionalis, agamais, dan komunis.
MTQ baru terlembagakan secara resmi di era Menteri Agama yang sekaligus pengurus PBNU, KH. Muhammad Dahlan pada 1967-an. Perhelatan MTQ dengan biaya pemerintah ini diprakarsai pula oleh Prof. KH. Ibrahim Hossen, yang pada 1970 mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Qur'an (PTIQ) dan Institut Ilmu Qur'an (IIQ) bersama para tokoh seperti Prof. Mukti Ali.
Sejarah mencatat bahwa organisasi di luar NU, pernah mengharamkan penyelenggaraan MTQ, berdalih sebagai praktik bid'ah yang tidak pernah dilakukan Nabi. Namun NU dan pemerintah tetap komitmen dan konsisten menyelenggarakan secara periodik. Hasilnya, kini hampir semua organisasi Islam berkeinginan kadernya dapat mengikuti MTQ Nasional, bahkan "latah" membuat ajang kompetisi hafidz Qur'an dengan beragam tingkatan.
Setidaknya ada tiga misi utama awal mula perhelatan MTQ.
Pertama, simbol syiar Islam. MTQ menjadi basis mengenalkan Qur'an kepada semua lapisan masyarakat sekaligus wujud kesatuan dan kebersamaan umat. Qur'an bukan sekadar kitab suci agama, tapi perekat dalam relasi sosial yang senyatanya.
Kedua, standardisasi pembelajaran Qur'an pada masyarakat muslim. Hal ini dapat dilihat dari ragam kategori yang diujikan. Misalnya kategori tilawah yang memiliki unsur Qiroah mujawwad (seni baca) dan murotal (tajwid) dengan tujuh nagham (langgam), tentu dapat menjadikan pembelajaran Qur'an bukan sekadar membaca tetapi ada nilai estetika dengan berkembangnya lagu bayyati, shoba, nahawand, hijaz, rost, sika, jiharka, dan kemudian dihadirkan adanya langgam Jawa. Termasuk kategori cerdas cermat, tafsir atau syarkhil Qur'an, kaligrafi, dan hiasan mushaf yang kesemuanya akan memiliki standar mutu yang sama.
Ketiga, upaya bela negara dengan aksi perlawanan ideologi radikal transnasional. MTQ pada masa awalnya, 1967, adalah kampanye santun "bersih-bersih" dari pengaruh komunisme menuju masyarakat religius. Dan dalam perkembangannya, MTQ dalah bagian dari forum penguasaan metodologi penafsiran yang dapat menggelorakan pemikiran-pemikiran praksis moderatisme (wasathiyah).
Banyak hal menarik pada perhelatan MTQ ke-26. Kegiatan berlangsung di kota islami Lombok, yang dipimpin oleh Gubernur "Tuan Guru Bajang" KH. TGH. Muhammad Zainul Majdi. Sosok muda 44 tahun, yang hafal Qur'an, menguasai penafsiran dengan raihan gelar doktor ilmu tafsir dari Universitas Al-Azhar, Kairo, dan sudah memimpin dua periode. Kesantunan dan keshalihannya telah menggabungkan dua peran sekaligus, peran ulama dan peran umara'.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan MTQ, Jamiyah Ahli Thariqoh Muktabarah An-Nahdhiyyah (JATMAN) sebagai wadah ulama sufi NU mengadakan konferensi internasional moderatisme Islam. Konferensi yang melibatkan sekitar 300-an ulama dari 30 negara ini menggagas wacana Islam moderat sebagai basis bela negara. Perlu adanya peningkatan peran ulama dalam mengembangkan nasionalisme, kebangsaan, dan perdamaian.
Sambung menyambung, MUI bekerjasama dengan Liga Muslim Dunia pun mengadakan konferensi moderatisme Islam dalam menangkal terorisme dan radikalisme. Muslim Nusantara ingin mengajari dunia bagaimana kita berbangsa dan bernegara yang damai, tanpa memperdebatkan antara Islam dan Demokrasi, antara Islam dan Pancasila. Lagi-lagi, itu dihelat sampai 1 Agustus, di Lombok, NTB, dengan gubernur muda yang hafal Qur'an dan menguasai pemaknaan tafsirannya.
Muh. Khamdan
Bogor, 29 Juli 2016.
Pemimpin Melayani
Untuk kesekian kali menyampaikn tema betapa pentingnya sosok pemimpin yang berjiwa melayani. Penting karena hakikat pemimpin adalah pelayan, sebagaimana ditunjukkan Yesus dalam jamuan terakhir dengan 12 muridnya yang rela membasuh kaki mereka.
Terasa berbeda materi ini disampaikan, jika peserta sebagian besar adalah para kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota, pimpinan manajemen keagamaan level eselon 3 seluruh Indonesia. Belum lagi para eselon 3 dari berbagai perguruan tinggi islam negeri, yang kiranya sangat mafhum tentang dogma kepemimpinan.
Pemimpin adalah orang yang bisa mempengaruhi, bisa mengajak, dan mampu mendeskripsikan keadaan organisasi di masa depan terhadap orang lain. Khalifah Umar dalam nasehatnya kepada sahabat Mughirah menyampaikan agar pemimpin itu dekat dengan rakyat, dan mampu menjadikan orang yang tidak salah aman sedangkan menjadikan orang yang salah tidak aman.
Pemimpin yang dapat melayani itu, selain dekat dengan rakyat tentunya juga bukan yang arogan. Sahabat Mu'awiyah berujar "Aku tidak akan menggunakan pedangku, jika dengan cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku, jika dengan lisanku sudah cukup". Inilah hakikat ketegasan pemimpin yang tidak arogan.
Bagaimana sesungguhnya karakter kepemimpinan dalam Islam? Tentu akan beragam pendapat karena banyaknya lokus keislaman sekaligus banyaknya varian pemahaman. Badiuzzaman Said Nursi dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fath ayat 29 mendeskripsikan 4 (empat) kategori.
Pertama, Setia (Alladzina Ma'ahu). Dialah sosok Abu Bakar sahabat paling setia di sisi Rasulullah. Kesetiannya pada amanah-amanah yang dititipkan menjadikan gelar Ash-shiddiq disandangnya, seiring sikapnya yang selalu membenarkan Rasulullah.
Kedua, Tegas terhadap penyimpangan (asyiddau alalkuffar). Dialah sosok Umar Al-Faruq sahabat yang paling tegas. Sikap tegasnya bukan sekadar untuk rakyat biasa, tetapi juga bagi keluarga dan para sahabat Nabi yang lain. Di sinilah semua orang mendapat jaminan kepastian hukum.
Ketiga, Lemah lembut (ruhamau bainahum). Sosok ini sesuai pada sahabat Utsman bin Affan yang sangat dermawan dan lembut pada semua kalangan, serta pemaaf dan penuh sikap bijak.
Keempat, shalih individu dan shalih sosial (tarahum rukka'an sujjadan yabtaghuna fadhlan minallah). Kategori ini sesuai dengan sahabat Ali bin Abi Thalib yang tidak lagi mengenal dikotomi amal, tetapi mampu memadukan peran sebagai ulama dan umara sekaligus.
Keempat kriteria dengan sejumlah penjelasan biografi para sahabat tentu menjadi pedoman konseptualisasi kepemimpinan khulafaur rasyidin.
Bagaimana kearifan lokal kepemimpinan Nusantara? Setidaknya ada 3 (tiga) budaya luhur bangsa Indonesia yang menyiratkan makna pelayanan.
Pertama, dalam sejarah para raja Nusantara berkembang konsep politik "Manunggaling Kawula Gusti". Konsep ini menegaskan bahwa pemimpin harus dekat dan menyatu dengan rakyat. Pemimpin memiliki rasa empati yang tinggi dengan berbaur seperti adanya prosesi Grebeg Syawal, Sekaten, dan Dugderan. Para Raja juga berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga Ken Arok mnyematkan diri sebagai titisan Dewa Syiwa. Airlangga berkedudukan di Kadiri menisbatkan diri sebagai titisan Wisnu. Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit mengkombinasikan antara Syiwa dan Wisnu sekaligus. Raja Islam pertama Jawa di Era Walisongo digelari Fatah, yang tak lain adalah Nama Allah. Sampai pada Raja Mataram yang disebut Sayyidin Panoto Gomo khalifatullahi Akbar, yang tak lain adalah nama Tuhan dan dikenal masyarakat dengan sebutan Sultan Agung.
Kedua, kearifan lokal atas lingkungan dengan konsep Hasta Brata (8 jalan kebenaran). Jalan trsebut menggunakan simbolisasi alam, seperti matahari yang menjadi komandan capaian kerja, bumi sebagai sumber curhat, bulan, bintang, api, air, samudra, dan angin.
Ketiga, Trilogi Kepemimpinan ala Ki Hajar Dewaatara. Ing Ngarso sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Pemimpin itu menjadi teladan, motor penggerak integritas, sekaligus menampung kritik dan aspirasi rakyat.
Tiga model karakter kepemimpinan yang melayani itu, tidak perlu merujuk pada teori leadership kebarat-baratan, karena leluhur Nusantara sudah mewariskan budaya yang maha agung.
Tak terasa sharing konsep dan aktualisasi para pemimpin di lingkungan Kemenag telah membuka tabir-tabir budaya nenek moyang. Konteks dogma religius terurai, konteks antropologis terjawab, dan konteks politik identitas tersusun sistematis guna menjadi bahan internalisasi.
Ach, semoga bukan sekadar ramai di kelas, tetapi dapat ramai juga terwujud pemimpin yang benar-benar melayani sepenuh hati.
Muh. Khamdan
Pusdiklat Kemenag Ciputat, 25 Juli 2016.
Politik Anti Tembakau
POLITIK ANTI TEMBAKAU
Menggugat Bahaya Rokok
Merokok dapat mnyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Demikian kalimat propaganda yang tertulis di dalam bungkus rokok atau apapun yang berhubungan dengan rokok. Setelah lama waktu tidak juga mengurangi penurunan jumlah perokok, maka tagline berganti menjadi Rokok Membunuhmu. Terbuktikah?
Penulis Amerika, Wanda Hamilton dalam bukunya berjudul Nicotine War diterbitkan INSIST Press, menjelaskan dengan sangat rinci motif-motif yang mndasari larangan tembakau. Bisnis industri farmasi yang ingin membunuh industri tembakau secara global. Industri itu terkait peran permen karet Nicorette, koyok Nicoderm, Nicotrol, dan Zyban.
Gencarnya perang global melawan tembakau diprakarsai oleh WHO dalam kebijakan "Health for All in the 21st Century" pada Mei 1998. Proyek ini disponsori tiga korporasi farmasi, yaitu Pharmacia, Novartis, dan Glaxowelcome yang kmudian membentuk konsorsium Nicotine Replacement Treatment (NRT).
Benarkah rokok berbahaya sebagaimana dalam bunyi peringatan? Masyakat NUsantara sudah membuktikan diri bahwa orang-orang di kampung adalah perokok aktif, usianya panjang sampai di atas 60 tahun, dan memiliki banyak anak. Bagaimana calon perokok percaya bahwa rokok itu berbahaya jika eyang bunyutnya, kakeknya, bapaknya, saudaranya, temannya semua merokok, dan tidak menunjukkan keadaan bahaya seperti yang dikampanyekan.
Rokok sudah menjadi bagian kebudayaan Indonesia yang tidak terpisahkan. Budaya rokok melahirkan produk asli NUsantara berupa rokok kretek. Jika reog dan wayang diklaim bangsa lain maka serentak masyarakat emosional, tetapi justru budaya rokok kretek ingin dihapuskan bahkan dikampanyekan dengan beragam cara termasuk fatwa haram.
Kretek, rokok yang dibuat dari daun tembakau kering dengan saus cengkeh dan saat dihisap berbunyi kretek-kretek. Ini lahir dari Kudus, Jawa Tengah, yang diprakarsai Haji Djamari pada 1800-an. Melinting langsung daun tembakau sudah terjadi turun temurun, oleh Haji Djamari dimodifikasi dengan racikan cengkeh. Awalnya ia sakit dibagian dada sehingga diolesi terus dengan minyak cengkeh, kemudian reda dan kambuh lagi. Maka inovasi meracik cengkeh dengan tembakau model rokok dilakukannya sebagai terapi, dan sembuh. Sosok ini meninggal sekitar 1890.
Penemuan Haji Djamari dikembangkan dalam komoditas dagang oleh Nitisemito pada 1906 dengan merek "Tjap Bal Tiga" di Kudus. Bergeliatlah industri rokok yang disuplai dari gunung Sumbing, Sindoro, Perahu, Malang, Kediri, Surabaya, dan lainnya.
Muncul penelitian ilmiah Profesor Sutiman, ahli biologi Universitas Brawijaya yang mengembangkan hasil penelitian Dr. Gretha Zahar. Istri Prof Sutiman yang mengidap kanker payudara diterapi dengan kretek mengalami kesembuhan. Kretek itu disebut Divine Kretek, karena mengandung protein, asam amino, dan zat-zat yang dapat mengganti sel-sel tubuh mati.
Kretek bukan rokok, karena dibuat dengan racikan tembakau bunga cengkeh dan saus. Sedangkan rokok hanya daun tembakau. Di sinilah perlu difahami bahwa, masyarakat santri, ulama NUsantara merokoknya dengan kretek bukan rokok putih.
Industri kretek bergerak atas lini tangan tangan rakyat petani tembakau, sedangkan rokok putih sebagai rokok imitasi tembakau digerakkan oleh industri global. Pertanyaannya, mana yang lebih benar dapat menyebabkan serangan jatung, paru-paru, dan gangguan kehamilan atau janin?
Tanyalah pada eyang kakung yang umur sudah 60an tahun masih perkasa menyangkul sambil hembus kretek dan menyrutup kopi. Duh nikmatnya....
Selamat merokok kretek..
Muh. Khamdan
Depok, 14 Juli 2016, pukul 12:35 WIB.
Langganan:
Postingan (Atom)