Mudik merupakan perjalanan antropologis seseorang yang dilakukan seiring dengan tibanya hari idul fitri. Tidak ada jawaban persis kapan mudik mulai terjadi, namun yang pasti hanya berlangsung di bumi Nusantara. Bukan di Arab Saudi, Turki, Malaysia, Pakistan, apalagi jazirah Eropa. Seolah sudah menjadi kewajiban bahwa mudik harus dilakukan kendati menguras seluruh tabungan selama setahun. Mudik, kembali ke udik atau kembali ke kampung halaman. Inilah hakikat antropologis yang telah berkolaborasi dengan ritual agama berupa puasa Ramadhan dan lebaran idul fitri. Kesukarelaan yang tidak perlu dikomando telah menjadikan jutaan manusia urban berjuang untuk melakukan. Dengan suka cita telah menjadikan kampung sebagai tujuan kembali, dan dengan penuh harap telah menjadikan para pegawai antri mengajukan cuti tahunannya. Dalam suasana demikian, patut untuk direnungi siapa yang memiliki grand design budaya mudik tersebut untuk pertama kali, bagaimana memahami nalar psikologis masyarakat yang rela mengorbankan jiwa dan raga sekaligus harta hanya untuk ritual antropologis semacam ini. Dan tentunya hanya dapat dirasakan oleh para pemudik itu sendiri. Mudik jelas membutuhkan keseriusan dan persiapan. Dalam konteks Islam, kedua langkah itu merupakan dimensi jihad. Kesungguhan untuk mewujudkan nilai-nilai spiritual yang sudah berkolaborasi dengan budaya dan sisi antropologi. Pertama, Jihad sosial. Seseorang harus kembali mengenal dan mmberdayakan msyarakat asalnya. Terlebih kini setiap desa sudah diberikan dana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Sudah semestinya transfer pengelolaan dan ilmu dilakukan oleh kaum mudik. Inilah substansi silaturrahim yang dapat melancarkan rizqi melalui sumber-sumber produksi ekonomi yang digerakkan kaum mudik. Kedua, Jihad individu. Seseorang harus kembali mendarma bhaktikn pengabdiannya pada orangtua, sanak family, dan handai taulan (birrul walidain). Tentu mudik bukan sekadar ke kampung atau liburan, tapi esensinya adalah mengenal kembali leluhur dan riwayat pengabdian komunitas yang telah membesarkan kaum mudik. Ketiga, Jihad budaya. Puncak lebaran yang dilakukan masyarakat Indonesia umumnya terjadi dalam hitungan hari ketujuh, karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari puncak kepuasan berpuasa syawal. Pada sisi inilah sektor pariwisata dengan beragam kirab budaya berlangsung di berbagai daerah. Keempat, Jihad spiritual. Seorang Muslim sangat disunahkn untuk puasa 6 hari setelah idul fitri yg setara dg puasa setahun. Dalam konteks demikian, perenungan kembali pada kesucian sesungguhnya sedang terbangun melalui rangkaian halal bi halal. Suatu seremoni yang diperkenalkan oleh KH. Wahab Chasbullah, dan tidak akan ditemukan di negara manapun, apalagi penggunaan tajuk bahasa yang sangat sulit difahami orang Arab sekalipun. Kelima, jihad ekologis. Para pelaku mudik sesungguhnya ingin membuka memorinya kembali terhadap lingkungan para leluhur dan kondisi yang telah membesarkan. Jika sosok yang melahirkannya disebut ibu kandung, maka alam inilah ibu pertiwi. Ibu yang memberi kehidupan kedua, sehingga para ulama Nusantara mengembangkannya dalam konsep sakti Cinta Tanah Air sebagai bagian dari iman. Perjuangan mempertahankannya telah memakan korban nyawa yang sangat banyak, dan kini mulai digempur dengan dalih pembangunan dan industrialisasi. Dalam dimensi jihad demikian, tidak heran jika nantinya tetap akan ada pegawai yang tidak mempedulikan edaran larangan cuti. Sesungguhnya ridho Tuhan tergantung ridho orang tua. Dan untuk menggapai keridhoan itulah banyak yang harus berjuang kembali ke kampung. Selamat mudik dalam situasi ketertekanan tanpa cuti. Di sinilah hakikat kesungguhan jihad itu sendiri.
Home
▼
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya