Home
▼
Jumat, 19 Agustus 2016
Masjid dan Dunia Anak
Umar, anak saya yang berusia 3,5 tahun, setiap ditanya "kakak sekolah ya?", maka dijawab olehnya "iya ke masjid". Demikian juga kalau ditanya, "kakak kalau main kemana?", maka dijawab olehnya "ke masjid".
Tidak ada pemaksaan membawa anak ke masjid. Tetapi secara tidak sadar nalar berfikir anak pertama, yang kemudian diikuti adiknya, Mush'ab 'Ammar yang berusia 1 tahun 2 bulan, tempat paling menyenangkan adalah masjid. Belajar, bermain, dan ajakan pada orangtuanya adalah pergi ke masjid. Setiap Buya "panggilan padaku"-nya sudah memakai sarung, spontan berebut minta digendong, karena sangkanya akan ke masjid.
Kebahagiaan dan keceriaan anak akan tampak di masjid. Bertemu banyak orang, tempatnya lapang, terang, dan tentunya bersih tanpa sampah terpandang. Pantas anak-anak merasa nyaman berada di masjid dengan beragam aktivitas.
Dalam riwayat Imam Nasa'i, Imam Ahmad, dan Imam Hakim, Rasulullah dalam jamaah shalat dzuhur atau shalat ashar pernah ruku' dan sujud dengan waktu yang sangat lama. Ini terjadi karena cucu tercinta Nabi, Hasan bin Ali, menaiki punggung baginda ketika ruku'. Secara bergantian cucu yang lebih kecil, Husain bin Ali, menaiki punggung baginda ketika sujud. Maka, Rasulullah selesai shalat minta maaf kepada para jamaah karena tidak ingin cucu-cucu beliau kecewa dan bisa puas bermain menunggangi punggung beliau sehingga memperlama ruku' dan sujudnya.
Tentu dapat dibayangkan bahwa cucu Nabi sudah dibiasakan ke masjid, bahkan menikmati bermain di kala Nabi sedang menjadi imam dalam shalat jamaah fardhu. Tentu ada sisi pengawasan bahwa anak-anak tidak mengotori, tidak menjadikan najis, dan tidak keterlaluan dalam gaduh dan tangisan. Betapa generasi awal Islam telah menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, terlebih pusat kaderisasi sejak masa anak-anak.
Masjid harus mampu memberikan pendidikan alternatif bagi masyarakat. Sisi keteladanan tentu akan menjadi pembelajaran terbaik bagi anak. Tempat yang bersih jelas mengajari anak untuk hidup bersih. Tempat banyak orang jelas mengajari anak untuk hidup menghormati, mudah bersosialisasi, berani tampil di muka umum, pun lebih cepat mengenal karakter beragam orang. Belum lagi rangkaian kegiatan yang ada, pada akhirnya menimbulkan anggapan bahwa sekolah itu ke masjid, dan masjid adalah sekolah.
Tak heran, ulama NUsantara di masa dulu menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan anak. Lahir Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) dengan beragam sanad metode pembelajaran Baca Tulis Al-Qur'an (BTA) di serambi maupun sisi samping sekitar masjid. Berkembang pula Madrasah Diniyah sebagai kelanjutan dari alumni TPQ dengan pendalaman ilmu ketuhanan (Tauhid), moralitas (akhlaq), ibadah (fiqih), sejarah keagamaan (tarikh), ilmu tata bahasa Arab (nahwu dan shorof), sampai pada kesenian kaligrafi dan nagham tilawatil Qur'an. Oleh karenanya, generasi yang pernah merasakan kaderisasi yang terpusat dari masjid tentu tidak akan mengalami situasi "kagetan" dengan perbedaan karena sudah terbiasa menerima dunia yang berbeda-beda.
Sayangnya, kini banyak masjid yang menjadi "seram" bagi dunia anak-anak. Melarang membawa anak ke masjid karena membuat gaduh, memasang banyak tulisan "dilarang gaduh", dan membuat kesan seolah masjid hanya untuk sholat sehingga kegiatan-kegiatan di luar itu adalah cenderung bid'ah atau menodai sakralitasnya. Masjid, terorganisir atau tidak, seolah dicipta untuk menjadi sepi. Banyak yang ramai membangun masjid dan meminta bantuan, tetapi menjauhkan program kaderisasi santri dan ulama.
Beruntung saya pernah merasakan masjid sebagai tempat yang menyenangkan. Menunggangi ayah yang memimpin jamaah shalat, mengganggu naik ke meja kecil ketika ayah mengajar ngaji, dan mungkin juga gaduh ketika para bapak-bapak shalat berjamaah. Persis, seperti yang dilakukan dua jagoanku saat ini, Umar dan Ammar.
Muh. Khamdan
Depok, 2 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya