Home

Jumat, 19 Agustus 2016

Shalih Pribadi dan Shalih Sosial

Pengajian Kitab Nashoihul Ibad, bab Tsuna'i, maqalah kesatu.
di Masjid Tjitra Mas Residence- Bogor, 7 Agustus 2016.
Oleh Ustadz Muh. Khamdan, MA.Hum
Dalam segala perintah Allah, akan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu mengagungkan Tuhan dan amanat untuk welas asih pada semua makhluknya. Di sinilah muncul rumusan bahwa seseorang harus melaksanakan laku shalih pribadi dan shalih sosial. Shalih adalah laku yang memiliki manfaat dan kebaikan.
Sholih pribadi terkait dengan ketekunan ibadah dan keimanan seseorang pada Tuhan. Shalih pada peran ini tentu fokus pada pengagungan Allah, yang bisa jadi belum memiliki manfaat bagi orang lain. Sholat misalnya, kenikmatannya tentu hanya dirasakan bagi yang sholat. Puasa misalnya, pahalanya pun hanya dikhususkan bagi orang yang puasa. Ibadah-ibadah yang fokus pada Tuhan sesunggguhnya hanya mengagungkan Allah semata.
Bisa jadi, orang mengejar berulangkali berangkat haji tapi melupakan kemiskinan atau tingkat kelaparan tetangga sekitarnya. Berulangkali umrah, tetapi mengabaikan tingkat pendidikan masyarakat sekitar yang terhimpit ekonomi sehingga putus sekolah. Bahkan, jika sedang terburu-buru berangkat ke masjid untuk shalat jumat namun di jalan berjumpa orang yang mengalami kecelakan, maka memunculkan kegamangan apakah tetap melanjutkan sholat jumat atau membantu kecelakan untuk mengantar korban ke rumah sakit. Bagi yang mementingkan sholih individu tentu akan "egois" jumatan, haji, dan umrah.
Shalih pribadi penting ketika diinteraksikan dengan orang lain. Sholat yang dilakukan sendiri hanya dinikmati sendiri, sehingga sangat dianjurkan berjamaah untuk dapat menghargai perbedaan dan menumbuhkan empati pada orang lain. Tidak sekadar rajin ibadah tetapi mengabaikan peran dan posisi orang lain, sebagaimana dianjurkannya berjamaah untuk tidak menjadi egois atau masuk surga sendiri
Pada tataran shalih sosial, seseorang bukan hanya melaksanakan ritual pengangungan terhadap Tuhan tetapi juga memperhatikan sisi kemanusiaan dengan makhlukNya. Konteks ini menganjurkan terwujudnya kolektivitas ibadah yang berfungsi sebagai perwujudan rahmatan lil alamin bagi semua makhluk.
Ketika Allah memerintahkan hambaNya berbuat baik, sesungguhnya mengingatkan untuk berbuat welas asih dan bersikap sesuai naluri manusia atau manusiawi. Perintah Allah bukanlah untuk kepentingan Allah tetapi untuk kebaikan manusia sendiri.
Rasulullah bersabda "Barangsiapa pada pagi hari berniat untuk tidak mendzalimi orang lain maka diampunilah dosa orang tersebut, serta yang berniat memberikan manfaat dengan memenuhi hajat atau menyenangkan orang muslim maka seolah-olah mendapatkan pahala haji mabrur". Hadis ini mengamanatkan bahwa lebih utamanya shalih sosial daripada sekadar ritual ibadah pribadi. Hal ini lebih dijelaskan dalam hadis lain bahwa "Allah lebih mencintai hambaNya yang bermanfaat bagi orang lain, dan amal yang paling baik adalah menyenangkan hati orang lain dengan menghilangkan kesusahan orang lain".
Oleh karena itu Allah bukan sekadar disembah-sembah, tetapi justru menyukai seseorang yang bisa membahagiakan orang lain, atau bukan sekadar shalih pribadi tetapi juga shalih sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya