Home
▼
Jumat, 19 Agustus 2016
Tirakatan Kemerdekaan
Dekat Ulama Untuk Keberkahan Negara
Pengajian Kitab Nashoihul Ibad, bab Tsunai pada Maqolah 2-3.
di Masjid Tjitra Mas, Bogor, 14 Agustus 2016
Oleh. Ustadz Muh. Khamdan, MA.Hum
Sudah menjadi bagian dari kegiatan memperingati hari kemerdekaan pada sekelompok masyarakat Indonesia adalah Malam Tirakatan. Kegiatan di malam tanggal 17 Agustus yang dilakukan dengan beragam acara. Ada yang dengan doa bersama, ada yang mengenang cerita perjuangan masa lalu melalui cerita para saksi sejarah atau veteran, dan ada juga yang melakukan dengan makan bersama seluruh masyarakat.
Tirakatan sesungguhnya proses untuk mengintrospeksi diri melalui upaya kembali pada jalan yang benar. Oleh karena itu, tirakatan dimaksudkan sebagai proses membuka kembali tujuan hidup. Kata tirakatan sendiri berasal dari kata Arab, Thariqatan atau Thariqah dengan asal kata Thariq yang memiliki arti jalan. Dengan demikian terdapat titik temu bahwa acara Malam Tirakatan yang dilakukan para sesepuh masyarakat memiliki maksud untuk mengukur capaian-capaian tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apa sesungguhnya tujuan hidup bersama itu?
Para pejuang bangsa selalu memiliki tujuan untuk hidup mulia atau mati syahid. Menjadi mulia adalah hidup dengan kemandirian di segala bidang, yang kemudian diwujudkan dalam konsep trisakti berupa mandiri di bidang ekonomi, mandiri di bidang politik, dan mandiri di bidang budaya. Kini di setiap jelang hari kemerdekaan, masih saja terasakan keadaan bangsa yang masih jauh dari keadaan mandiri, bahkan seolah hilang dari makna keberkahan.
Rasulullah SAW bersabda bahwa "Akan tiba suatu masa pada Umat Nabi Muhammad yang saling menjauh dari ulama dan ahli fiqih. Maka Allah akan memberi 3 jenis cobaan, yaitu hilangnya keberkahan ekonomi, berkuasanya pemimpin yang dzalim, dan meninggal tanpa membawa iman". Hadis ini kiranya kontekstual dengan kondisi berbangsa dan bernegara, yang sengaja atau tidak sengaja telah menjauhkan peran dan posisi ulama.
Masyarakat semakin bingung dengan kriteria ulama yang harus diteladani. Satu sisi seringkali muncul ulama yang lebih politis daripada politisi itu sendiri, pada sisi yang lainnya juga tampil lebih dari sekadar selebritis yang dilahirkan dari infotainment media. Bahkan muncul pula ulama yang berperan sebagai polisi swasta dengan terlalu mudah menuduh kafir, sesat, bid'ah, dan orang lain masuk neraka. Sosok ulama yang sesungguhnya sudah semakin bias, seiring masyarakat yang semakin menjauh dari ulama untuk belajar agama secara langsung dan digantikan belajar dari google maupun youtube. Tak heran jika yang berkembang dalam model keberagamaan semacam ini adalah menganggap orang lain salah, sesat, dan pudarnya sikap toleran.
Sejarah perjuangan bangsa seolah juga telah menjauhkan dari peran ulama dan santri. Seorang pejuang ulama bernama KH. Abdul Hamid yang lahir di Tegalrejo, Magelang, misalnya, telah melakukan aksi perlawanan terhadap kolonial Belanda sepanjang 1825-1830. Aksi gerilya yang dilakukan sepanjang karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen) menjadikan kas Belanda bangkrut. Sosok keturunan Hamengkubuwono ke-3 ini dikenal dengan Pangeran Diponegoro.
Seorang mursyid Thariqah Qadiriyah yang selalu mengenakan sorban putih ini memiliki nama lengkap KH. Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Sayyidin Panotogomo Amirul Mu'minin Khalifatullah Tanah Jawi. Dimakamkan di Makasar, Sulawesi Selatan. Dalam salah satu rumah di Magelang, Pangeran Diponegoro menyimpan 3 buah peninggalannya, yaitu Qur'an, tasbih, dan kitab Taqrib (Fathul Qarib). Hal ini menunjukkan bahwa pribadi sang Mursyid Thariqah ini adalah muslim ahli dzikir sekaligus bermazhab Syafi'i, sebagaimana keberadaan kitab kuning yang ditulis Imam Abi Syuja' Al-Isfahany dan menjadi kitab dasar bagi santri pemula di pesantren-pesantren NUsantara sampai saat ini.
Sejarah santri juga menjauh dari sosok Raden Ajeng Kartini. Perempuan yang lahir di Mayong, Jepara ini adalah murid dari KH. Shaleh Darat. RA. Kartini yang belum mengetahui makna Al-Qur'an meminta agar gurunya tersebut bersedia menuliskan tafsir untuk menjelaskan Al-Qur'an dengan bahasa Jawa bertuliskan Arab pegon. Oleh karena itu, muncullah Tafsir Qur'an berbahasa jawa untuk pertama kali di NUsantara yang diberikan oleh KH. Shaleh Darat sebagai hadiah pernikahan RA. Kartini. Dari sini selalu diungkapkan oleh Kartini dari Surat Al-Baqarah ayat 257 "minaddzulumati ilannur" atau dari gelap menuju terang benderang, yang kemudian dikenal Habis Gelap Terbitlah Terang.
Wujud nasionalisme keagamaan juga dilakukan oleh keturunan Rasulullah dari Kauman Semarang, Habib Husein Al-Muthahar. Sayyid Husein ini menjadi pengarang lagu Syukur dan lagu yang setiap hari kemerdekaan dinyanyikan masyarakat berbunyi:
17 Agustus Tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia
Merdeka...
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia
Membela Negara kita.
Pesan Nabi bahwa Allah akan menguji umatnya jika menjauh dari ulama, kiranya perlu menjadi perenungan bersama. Jika bukan hilang keberkahan ekonomi, bisa jadi ujian yang Allah berikan di pertambahan tahun kemerdekaan adalah pemimpin dzalim yang menjadikan negara dan masyarakat salah urus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya