Home

Rabu, 02 Maret 2016

Hukum LGBT

Lesbian Haram dan dihukum Takzir
Benar bahwa belakangan ini ramai diperbincangkan masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Pelbagai kalangan dan tingkatan usia membicarakan masalah ini.
Setidaknya ada empat masalah berbeda perihal LGBT. Semuanya memerlukan pembahasan tersendiri. Pada kesempatan ini kita mengangkat masalah lesbian dari sisi hukum Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan perilaku mukallaf. Artinya kita akan memandang masalah lesbian dari perilaku seksualnya. Lesbian sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. Dengan kata lain, lesbian adalah wanita homoseks. Syekh Nawawi Banten menyebut status hukum hubungan seksual wanita homoseks dalam karyanya Nihayatuz Zain sebagai berikut.
وتساحق النساء حرام ويعزرون بذلك لأنه فعل محرم. قال القاضي أبو الطيب وإثم ذلك كإثم الزنا، لقوله صلى الله عليه وسلم "إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيان"
Artinya, “Hubungan seksual sesama perempuan (sihaq) adalah haram. Pelakunya dikenakan sanksi level takzir karena sihaq merupakan tindakan yang diharamkan. Qadhi Abut Thayyib mengatakan, ‘Dosa sihaqserupa dengan dosa zina berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘Bila perempuan melakukan seksual dengan sejenisnya, keduanya telah berzina’,’” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, Al-Ma‘arif, Bandung, tanpa tahun, Halaman 349).
Lalu sanksi apa yang dikenakan bagi pelaku hubungan homoseksual wanita ini? Imam An-Nawawi di dalam Raudhatut Thalibbin menyebutkan bahwa sanksi lesbian tidak sampai batas hudud, level sanksi terberat dalam hukum Islam seperti rajam. Mereka hanya dikenakan takzir, satu tingkat sanksi di bawah hudud.
المفاخذات ومقدمات الوطء وإتيان المرأة المرأة لا حد فيها
Artinya, “Aktivitas pemenuhan seksual dengan mempertemukan paha, pendahuluan-pendahuluan dalam bersetubuh (foreplay), dan tindakan lesbian, tidak dikenakan sanksi hudud,” (Lihat Muhyiddin An-Nawawi,Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyyin, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz VIII, Halaman 415). Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj yang kemudian diuraikan lebih jauh oleh Ibnu Qasim Al-Abbadi mempertegas sanksi takzir bagi pelaku homoseksual wanita/lesbian.
ولا حد بمفاخذة وغيرها مما ليس فيه تغييب حشفة كالسحاق( عبارة المغني ولا بإتيان المرأة المرأة بل تعزران ولا باستمنائه باليد بل يعزر اما بيد من يحل الاستمتاع بها فمكروه لأنه في معنى العزل) لعدم الإيلاج السابق(
Artinya, “(Tiada sanksi hudud bagi tindakan seksual dengan paha dan aktivitas seksual lain yang tidak sampai memasukan kelamin laki-laki seperti sihaq) redaksi dalam Mughni, ‘Tiada sanksi hudud bagi pelaku lesbian. Keduanya cukup di-takzir. Begitu juga mereka yang melakukan masturbasi dengan tangannya. Mereka di-takzir. Sedangkan masturbasi pria dengan menggunakan tangan istri atau budak perempuannya, hukumnya makruh karena masuk kategori ‘azal [keluar mani di luar vagina]’ (karena tidak ada masuknya penis seperti keterangan lalu),” (Lihat Abdul Hamid As-Syarwani dan Ahmad Ibnu Qasim Al-Abbadi, Hawasyi Tuhfatil Muhtaj, Musthofa Muhammad, Mesir, Juz IX, Halaman 104).
Dari sejumlah keterangan di atas kita memahaminya bahwa hubungan seksual lesbian adalah haram dan dosa besar yang memiliki konsekuensi hukum di dunia. Pelakunya dikenakan sanksi takzir yang diijtihadkan oleh pemerintah dalam konteks Indonesia melalui perundang-undangan yang berlaku.
Perihal perkawinan sejenis seperti pernikahan sesama lesbian, jelas tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat pernikahan. Hukum positif tidak boleh melegalkan pernikahan mereka. Pemerintah baik eksekutif maupun legislatif akan berlaku zalim bila melakukan legalisasi perbuatan keji. Imam An-Nawawi secara eksplisit menyebut perilaku homoseksual wanita sebagai perbuatan keji.
إيلاج الفرج في الفرج يدخل فيه اللواط وهو من الفواحش الكبائر
Artinya, “Pemasukan vagina ke vagina, termasuk juga di dalamnya homoseksual pria (liwath) adalah bagian dari perbuatan keji dan dosa besar,” (Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyyin, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz VIII, Halaman 414)
Adapun orientasi seksual, menurut hemat kami, adalah masalah medis yang bisa dikonsultasikan kepada para psikiater, medisin, atau pengobatan alternatif. Masalah orientasi sejenis ini masuk dalam ruang lingkup medis yang memiliki metode sendiri dalam menangani masalah ini.
Kendati demikian, masyarakat tidak boleh mengucilkan mereka secara sosial. Mereka justru membutuhkan dukungan masyarakat dalam mengatasi problem medis yang tengah mereka hadapi.
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/65914/hukum-hubungan-seksual-lgbt-lesbian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya