Home

Senin, 27 Juni 2016

Penutup: Riwayat Nabi Muhammad

Pengajian Ba'da subuh 20 Ramadhan 1437 H
خَاتِمَةٌ
يَجِبُ عَلى الشَّخْصِ أَنْ يَعْرِفَ نَسَبَهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِهَةِ أَبِيْهِ وَ مِنْ جِهَّةِ أُمِّهِ فَأَمَّـا نَسَـبُهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِهَةِ أَبِيْهِ فَهُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بِنِ هَاشِمِ بِنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَى بِنِ كِلاَبِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَى بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مِالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ اِلْيَاسَ بِنِ مُضْرِ بْنِ نِزَارِ بْنِ مُعَدِ بْنِ عَدْنَانَ وَلَيْسَ فِيْمَا بَعْدَهُ اِلى آدَمَ عَلَيْهِ الصَّلاِةُ وَالسَّلاَمُ طَرِيْقٌ صَحِيْحٌ فِيْمَا يُنْقَلُ. وَأَمَّـا نَسَـبُهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِهَةِ اُمِّهِ فَهُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ آمِنَةَ بِنْتِ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلاَبٍِ فَتَجْتَمِعُ مَعَهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى جَدِّهِ كِلاَبٌ وَمِمَّا يَجِبُ أَيْضًـا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ لَهُ حَوْضًـا. وَأَنَّهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْفَعُ فِى فَصْلِ الْقَضَاءِ وَهَذِهِ الشَّفَاعَةُ مُخْتَصَةٌ بِهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِمَّا يَجِبُ أَيْضًـا أَنْ يَعْرِفَ الْرُّسُلَ الْمَذْكُورَةَ فِى الْقُرْأنِ تَفْصِيْلاً وَأَمَّا غَيْرُهُمْ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَهُمْ اِجْمَالاً وَقَدْ نَظَّمَ بَعْضُهُمْ الأَنْبِيآء اَلَّتِى تَجِبُ مَعْرِفَتَهُمْ تَفْصِيْلاً, فَقَالَ :
حَتْمٌ عَلى كُلِّ ذِي التَّكْلِيْفِ مَعْرِفَةٌ *** بِأَنْبِيَآءَ عَلى التَّفْصِيْلِ قَدْ عُلِمُـوْا
فِى تِلْكَ حَجَتُنَا مِنْهُمْ ثَمَــانِيَةٌ *** مِنْ بَعْـدِ عَشْرٍ وَيَبْقى سَبْعَةٌ وَهُمْ
اِدْرِيْسٌ هُوْدٌ شُعَيْبٌ صَالِحٌ وَكَذَا *** ذُو الْكِفْلِ آدَمٌ بِالْمُخْتَارِ قَدْ خَتَمُوْا
وَمِمَّا يَجِبُ اِعْتِقَادُهُ أَيْضًـا أَنَّ قَرَنَهُ أَفْضَلُ الْقُرُونِ ثُمَّ الْقَرْنُ الَّذِي بَعْدَهُ ثُمَّ الْقَرْنُ الَّذِي بَعْدَهُ وَيَنْبَغِى لِلشَّخْصِ أَنْ يَعْرِفَ أَوْلاَدَهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ
عَلى الصَّحِيْحِ سَيِّدُنَا الْقَاسِمُ وَسَيِّدَتُنَا زَيْنَبُ وَسَيِّدَتُنَا رُقَيَّةُ وَسَيِّدَتُنَا فَاطِمَةُ وَسَيِّدَتُنَا اُمُّ كُلْثُومٍ وَسَيِّدُنَا عَبْدُ اللهِ وَهُوَ الْمُلَقَّبُ بِالطَّيِّبِ وَالطَّاهِرِ وَسَيِّدُنَا اِبْرَاهِيْمُ وَكُلُّهُمْ مِنْ سَيِّدَتِنَا خَدِيْجَةَ الْكُبْرى اِلاَّ اِبْرَاهِيْمَ فَمِنْ مَارِيَةَ الْقِبْطِيَّةِ. وَهَذَا آخِرُ مَا يَسَّرَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَكَرَمِهِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلّى اللهُ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Penutup
Wajib terhadap seseorang lelaki atau perempuan untuk mengetahui nasab atau silsilah Nabi SAW dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya.
Adapun nasab Nabi SAW dari pihak ayahnya maka dia, baginada kita semua Muhammad adalah putra Abdullah, yang putranya Abdul Mutholib, yang putranya Hasyim, yang putranya Abdu Manaf, yang putranya Qushoy , yang putranya Kilab, yang putranya Murroh, yang putranya Ka’ab, yang putranya Lu-ay, yang putranya Ghalib, yang putranya Fihr, yang putranya Malik, yang putranya Nadlir, yang putranya Kinanah, yang putranya Hujaimah, yang putranya Mudrikah, yang putranya Ilyas, yang putranya Mudlor, yang putranya Nizar, yang putranya Mu’ad, yang putranya Adnan. Dan tidak ada nasab atau silsilah sesudah Adnan sampai Adam AS berdasarkan perjalanan shahih dalam penukilan.
Adapun nasab Nabi SAW dari pihak ibunya maka dia, baginada kita semua Muhammad adalah putra Aminah, yang putrinya Wahab, yang putranya Abdu Manaf, yang putranya Zuhroh, yang putranya Kilab. Maka berkumpulah Aminah beserta Nabi SAW pada eyangnya Kilab. Dan dari sebagian perkara yang wajib untuk diketahui yaitu sesungguhnya Nabi memiliki Haudl/ danau. Dan sesungguhnya nabi SAW akan memberi syafaat ketika dalam fashl Al-Qodlo (penghakiman yang akan memisah manusia). Dan Syafaat ini dikhususkan kepada Nabi SAW.
Dan juga dari sebagian perkara yang wajib yaitu harus mengetahui para Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara rinci/spesifik. Adapun selain para Rasul tersebut, maka wajib untuk seseorang mengetahuinya secara global/keseluruhan. Dan sungguh telah menadhomkan sebagian ulama untuk nabi-nabi yang wajib mengetahuinya secara rinci. Maka mereka berkata:
حَتْمٌ عَلَى كُلِّ ذِي التَّكْلِيفِ مَعْرِفَةُ # بِأَنْبِيَاءٍ عَلَى التَّفْصِيلِ قَدْ عُلِمُوا
فِي تِلْكَ حُجَّتُنَا مِنْهُمْ ثَمَانِيَةٌ # مِنْ بَعْدِ عَشْرٍ وَيَبْقَى سَبْعَةٌ وَهُمُوا
إدْرِيسُ هُودٌ شُعَيْبٌ صَالِحٌ وَكَذَا ذُو الْكِفْلِ آدَم بِالْمُخْتَارِ قَدْ خُتِمُوا
“Mesti kepada setiap mukallaf mengenal Nabi-Nabi secara rinci yang telah diketahui dalam hujjah kita. Sebagian mereka ada 18 dan sisanya ada 7 yaitu Idris, Hud, Syuaib, Sholih, begitu juga zulkifli, adam. Yang diakhiri oleh Al-Mukhtar Nabi Muhammad”
Dan juga dari sebagian perkara yang wajib diyakini yaitu bahwa sesungguhnya kurun/masa Rasulullah adalah masa yang paling unggul. Kemudian kurun sesudahnya, kemudian kurun sesudahnya lagi.
Dan seyogyanya bagi seseorang untuk mengenal anak-anak Nabi SAW. dan mereka berdasarkan riwayat yang shahih yaitu Syaid Al-Qasim, Syaidah zainab, Syaidah Ruqayah, Syaidah Fatimah, Syaidah Ummi kulsum, Syaid Abdullah yang dijuluki At-Thoyyib dan At-Thohir, Syaid Ibrahim. Dan mereka semua dilahirkan dari Syaidah Khodijah Al-Kubra Al-Ibrahim. Dan yang dilahirkan dari Mariah yaitu Al-Qibthiyah.
Inilah akhir dari sesuatu yang telah Allah mudahkan karena keutamaan-Nya dan kemuliaan-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga terlimpah pada Baginda kita Muhammad, dan kepada keluarganya, dan para Sahabatnya.
Pembahasan:
1. Apakah Nabi Muhammad Abtar (terputus keturunan) karena keturunan yang ada hanya dari Fatimah, yaitu Hasan dan Husein
2. Masih adakah keturunan dari Hasan dan Husein yang masih hidup ketika terjadi pembantaian oleh Yazid bin Mu'awiyah?
3. Benarkah keturunan Nabi yang ada di Indonesia memiliki garus keturunan Nabi yang sebenarnya?
TMR Kalisuren, 25 Juni 2016 (20 Ramadhan 1437)
Kitab Tijan Durori, fasal Penutup Silsilah Nabi Muhammad

Sifat Wajib dan Jaiz Nabi - Rasul

Pengajian Ba'da Subuh 19 Ramadhan 1437 H
وَيَجِبُ فِى حَقِّ الرُّسُلِ عَلَيْهِمْ الصَّلاَةُ وَالسَّلامُ الصِّدْقُ وَضِدُّهُ الْكِذْبُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّـهُمْ لَوْ كَذَبُوا لَكَانَ خَبَرُ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى كَاذِبًـاوَهُوَ مُحَالٌ
وَيَجِبُ فِى حَقِّهِمْ عَلَيْهِمْ الصَّلاَةُ وَالسَّلامُ الأَمَانَـةُ وَضِدُّهَـا الْخِيَانَةُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُمْ لَوْ خَانُوا بِفِعْلٍ مَحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ لَكُـنَّا مَأْمُرِيْنَ بِمِثْلِ ذلِكَ وَلاَ يَصِحُ أَنْ نُؤْمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ.
وَيَجِبُ فِى حَقِّهِمْ عَلَيْهِمْ الصَّلاَةُ وَالسَّلامُ تَبْلِيْغُ مَا أُمِرُوْا بِتَبْلِـيْغِهِ لِلْخَلْقِ وَضِدُّهُ كِتْمَانُ ذلِكَ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُمْ لَوْ كَتَمُوْا شَيْأً أُمِرُوْا بِتَبْلِـيْغِهِ لَكُـنَّا مَأْمُرِيْنَ بِكِتْمَانِ الْعِلْمِ وَلاَ يَصِحُ أَنْ نُؤْمَرَ بِهِ لأَنَّ كَاتِمَ الْعِلْمِ مَلْعُوْنٌ.
وَيَجِبُ فِى حَقِّهِمْ عَلَيْهِمْ الصَّلاَةُ وَالسَّلامُ الْفَطَانَـةُ وَضِدُّهَا الْبَلاَدَةُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَو انْتَفَتْ عَنْهُمْ الْفَطَانَةُ لَمَا قَدَرُوْا أَنْ يُقِِيْمُوْا حُجَّـةً عَلى الخَصْمِ وَهُوَ مُحَالٌ لأَنَّ الْقُرْأنَ دَلَّ فِى مَوَاضِعَ كَثِيْرَةٍ عَلَى اِقَامَتِهِمْ الْحُجَّةَ عَلى الْخَصْمِ
وَالْجَائِزُ فِى حَقِّهِمْ عَلَيْهِمْ الصَّلاَةُ وَالسَّلامُ الأَعْرَاضُ الْبَشَرِيَّةُ الَّتِى لاَ نُؤْدِى اِلى نَقْصٍ فِى مَرَاتِبِهِمْ الْعَلِيَةِ كَالْمَرَضِ وَنَحْوِهِ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ مُشَاهَدَتُهَـا بِهِمْ عَلَيْهِمْ الصَّلاَةُ وَالسَّلامُ
Dan wajib dalam haq para Rasul sifat As-Shiddiq (الصديق) yang berarti jujur. Dan lawan dari sifat jujur adalah Al-kidzb (الكذب) berupa bohong. Dalil atas sifat ini adalah jikalau para Rasul berbohong maka adanya Allah atau berita tentang Allah itu bohong. Dan itu jelas mustahil.
Dan wajib dalam haq para Rasul sifat Al-Amanah (الأمانة) yang berarti dapat dipercaya. Dan lawan dari sifat Al-khiyanat (الخيانة) berupa berhianat. Dalil atas sifat ini yaitu jikalau para Rasul berhianat dengan berbuat yang diharamkan atau dimakruhkan, maka kita semua itu diperintah dengan seumpama itu. Dan tidak benar bahwa kita telah diperintahkan terhadap perbuatan yang diharamkan atau dimakruhkan.
Dan wajib dalam haq para Rasul sifat Tablig (تبليغ) yaitu menyampaikan perkara yang telah diperintahkan terhadap mereka untuk menyampaikannya kepada makhluk. Dan lawannya yaitu sifat kitman (كتمان) berarti menutup-nutupi. Dalil atas sifat ini yaitu sesungguhnya jikalau para Rasul menutup-nutupi suatu perkara yang telah diperintahkan untuk disampaikan, mestinya kita juga disuruh untuk menyembunyikan. Dan itu tidaklah benar karena sesungguhnya orang-orang yang menutup-nutupi pengetahuan itu dilaknat.
Dan wajib dalam haq para Rasul sifat Al-fathonah (الفطانة) yang berarti cerdas. Dan lawannya yaitu sifat Al-biladah (البلادة) yang artinya bodoh. Dan dalil atas ini yaitu sesungguhnya jikalau para Rasul tidak memiliki kecerdasan maka mereka tidak berkuasa membuat hujjah terhadap para lawan atau musuh. Dan itu mustahil. Karena Al-Qur’an menunjukan dalam banyak tempat atas menegakannya para Rasul terhadap hujjah kepada lawan/musuh.
Dan jaiz atau boleh dalam haq para Rasul yaitu sifat Al-a’rod Al-Basyariyah (الأعراض البشرية) yaitu sama kelihatan secara manusiawi yang tidak menimbulkan kekurangan pada martabat para Rasul seperti sakit dan lain-lainnya. Dalil atas ini yaitu terbuktinya sifat penampakan manusiawi pada para Rasul Alaihi sholatu wassalam.
Penjelasan:
1. Kisah Nabi Muhammad sebagai orang yang sangat jujur, sehingga disebut "Al-Amin" di masa sebelum mendapatkan kewahyuan
2. Kisah Nabi Sam'un Al-Ghazi yang menjadi asbabun nuzul turunnya malam Lailatul Qadar (Surat A-Qadr), setimpal dengan malam 1.000 bulan 83 tahun). Peristiwa ini seiring amal yang tidak putus-putus dilakukan oleh Nabi Sam'un Al-Ghazi.
3. Kisah kesedihan Nabi Muhammad ketika ditinggal meninggal istrinya, Khadijah, dan paman yang selama hidup merawat Nabi bernama Abu Thalib. Kesedihan demikian menjadi bagian dari sifat manusiawinya Nabi, sehingga dihibur oleh allah dengan peristiwa isra' mi'raj pada tahun kesepuluh kenabian.
4. Kisah pertemuan Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim dalam peristiwa isra' mi'raj dimana Nabi Ibrahim menyampaikan salam untuk Umat Nabi Muhammad dan berpesan untuk memperbanyak tanaman di surga, dengan mengucapkan "Subhanallah Alhamdulillah La ilaha illallah Allahu Akbar". Oleh karena itulah umat muslim senantiasa mengucapkan salam shalawat kepada Nabi Ibrahim alaihis salam.
TMR Kalisuren, 24 Juni 2016 (19 Ramadhan), Pukul 05:10 – 06:00 WIB
Kitab Tijan Durori fasal Sifat Wajib dan Jaiz Para Rasul

Sifat Jaiz Allah

Pengajian Ba'da Subuh 18 Ramadhan 1437 H
وَالْجَـائِزُ فِى حَقِّهِ تَعَالى فِعْلُ كُلِّ مُمْكِنٍ أَوْتَرْكُهُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهَ سُبْحَانَ اللهُ وَتَعَالى فِعْلُ شَيْءٍ أَوْ تَرْكُهُ لَصَارَ الْجَائِزُ وَاجِبًـا أَوْ مُسْتَحِيْلاً وَهُوَ مُحِالٌ
Dan ja’iz/ boleh (الجائز) dalam haq Allah Ta’ala melakukan setiap yang mungkin atau membiarkannya. Dalil atas ini yaitu sesungguhnya jikalau ada tuntutan mewajibkan atas Allah untuk melakukan sesuatu atau memaksa untuk tidak melakukan atau membiarkannya, maka itu mustahil.
Penjelasan:
Dalam Kajian Hakikat Tauhid dan Aqidah ini kita memahami bahwa sifat Jaiz pada Allah SWT terbagi atas empat kelompok atau empat bagian dengan namnya masing-masing yaitu:
Pertama, Mungkin pada masa lalu (Wajadda wa’angqada). Mungkin pada masa lalu ini adalah seperti mungkin pada nenek moyang atau leluhur kita termasuk di dalamnya asal usul dan segala hal yang berhubungan dengannya. Dalam mungkin Wajadda wa’angqada ini pemahaman adalah bahwa sifat Qudrat dan Iradat Allah SWT memberi bekas pada setiap ciptaan-Nya.Taksyariyah namanya
Kedua, Mungkin pada saat ini (Maujudad). Mungkin pada saat ini adalah seperti bumi dan langit dan segala isinya termasuk di dalamnya. Mungkin saja yang dikatakan alien itu ada dan mungkin saja tidak ada dan lain-lain. Dalam mungkin Maujudad ini pemahaman adalah bahwa sifat Qudrat dan Iradat Allah SWT berserta dengan dengan ciptaan-Nya dalam arti meliputi. Ma’iyah namanya.
Ketiga, Mungkin pada masa datang (Sayujad). Mungkin pada masa yang akan datang seperti adanya anak-anak cucu serta keturunan manusia. Dalam mungkin Sayujad ini pemahaman pada segala sesuatu yang akan datang itu merupakan penetapan dan hukum atau sebab dari Qudrat dan Iradat Allah SWT. Khukmiyah namanya.
Keempat, Mungkin dalam Ilmu Allah SWT (‘Alimullahu annahu lam yujad). Mungkin dalam ilmu Allah berarti tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika Allah berkehendak dengan sebab atau tanpa sebab sesuai hukum syariat atau diterima akal atau tidak dapat diterima akal, sebagaimana Allah menciptakan manusia berkepala tujuh, atau menciptakan ular berkaki sembilan, atau memasukkan orang kafir ke dalam surga. Semua mungkin saja terjadi karena Allah adalah Zat Yang Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dalam mungkin ‘Alimullahu annahu lam yujad ini pada pemahaman bahwa Qudrat dan Iradat Allah sebagai penguasa atas kekuatan dan yang menguatkan ciptaannya. Qawiyah namanya.
Sifat jaiz ini bukan hanya menegaskan tentang kekuasaan, namun mengajarkan bahwa Allah SWT bukanlah dzat yang bisa diperintah apalagi dipaksa oleh siapapun. Allah bukanlah sembahan yang dapat dipaksa atau diperintah-perintah.
Sifat ja’iz juga menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang merdeka. Karena itu, Allah berhak dan memiliki kuasa penuh untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sifat jaiz Allah menegaskan bahwa Dia tidak terbantahkan, namun pula tidak sewenang-wenang. Alam berjalan sesuai dengan hukum-Nya meskipun Allah pun berkuasa untuk mengubahnya, atau tentu saja tidak mengubahnya.
TMR Kalisuren, 23 Juni 2016, Pukul 05:10 – 05:50 WIB
Kitab Tijan Durori fasal Sifat Jaiz Allah

Muridan, 'Aliman, Hayyan, Sami'an, Bashiron, Mutakaliman

Pengajian Ba'da Subuh 17 Ramadhan 1437 H
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى كَوْنُـهُ مُرِيْدًا وَضِدُّهُ كَوْنُهُ كَارِهًـا وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ دَلِيْلُ الإِرَادَةِ. وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى كَوْنُـهُ عَالِمًـا وَضِدُّهُ كَوْنُهُ جَاهِلاً وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ دَلِيْلُ الْعِلْـمِ. وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى كَوْنُـهُ حَيًّـا وَضِدُّهُ كَوْنُهُ مَيتًـا وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ دَلِيْلُ الْحَيَـاةِ. وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى كَوْنُـهُ سَمِيْعًـا بَصِيْرًا وَضِدُّهُمَا كَوْنُهُ أََصَمُّ وَكَوْنُهُ أَعْمى وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ دَلِيْلُ السَّمْعِ وَ دَلِيْلُ الْبَصَرِ. وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى كَوْنُـهُ مُتَكَلِّمًـا وَضِدُّهُ كَوْنُهُ أَبْكَمَ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ دَلِيْلُ الْكَلاَمِ
Dan wajib dalam haq Allah Ta’ala, sifat kaunuhu muridan (كونه مريدا) berarti adanya Allah yang berkehendak. Lawannya yaitu sifat kaunuhu karihan (كونه كارها) yaitu Allah yang terpaksa. Dalil atas adanya Allah yang berkehendak yaitu dalil sifat Al-iradat.
Dan wajib dalam haq Allah Ta’ala, sifat kaunuhu aliman (كونه عالما) berarti adanya Allah yang mengetahui. Lawannya yaitu sifat kaunuhu jahilan (كونه جاهلا) yaitu Allah yang bodoh. Dalil atas adanya Allah yang mengetahui yaitu dalil sifat Al-‘ilmu.
Dan wajib dalam haq Allah Ta’ala, sifat kaunuhu hayyan (كونه حيا) berarti adanya Allah yang hidup. Lawannya yaitu sifat kaunuhu mayyitan (كونه ميتا) yaitu Allah yang mati. Dalil atas adanya Allah Ta’ala yang hidup yaitu dalil sifat Al-hayyat.
Dan wajib dalam haq Allah Ta’ala, sifat kaunuhu samii’an (كونه سميعا) berarti adanya Allah yang mendengar dan bashiiran (كونه بصيرا) yaitu Allah yang melihat. Lawannya yaitu sifat kaunuhu ashoma (كونه أصم) adanya Allah yang tuli dan kaunuhu a’ma (كونه اعمى) adanya Allah yang buta. Dan dalil atas adanya Allah yang mendengar dan melihat yaitu dalil sifat As-sama’ dan dalil sifat Al-Bashor.
Dan wajib dalam haq Allah Ta’ala, sifat kaunuhu mutakalliman (كونه متكلما) berarti adanya Allah yang berfirman. Lawannya yaitu sifat kaunuhu abkama (كونه ابكم) adanya Allah yang bisu. Dan dalil atas adanya Allah yang berrfirman yaitu dalil sifat Al-kalam.
Penjelasan:
Penguatan penjelasan dalam sifat Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalam. Sesungguhnya sifat “maknawiyah” ini memiliki fungsi perwujudan dari sifat “ma’any” yang terdiri dari qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, dan kalam.
Keyakinan terhadap sifat-sifat Allah dalam perjalanan spiritual kaum sufi dan tasawuf, ditempuh dengan 3 langkah tingkatan:
Pertama, takholli. Merupakan upaya untuk mengosongkan diri dari tindakan dan perilaku yang buruk dan kemaksiatan. Langkah ini menjadi pondasi dasar bagi seseorang untuk tidak melakukan kemaksiatan, dosa, dan kesalahan dengan Allah maupun dalam hak antar manusia, semisal menjauhkan diri dari sombong, iri, dengki, hasud, ‘ujub, sum’ah, riya,. Dan lain-lainnya. Termasuk menghilangkan diri dari perbuatan yang sia-sia maupun sesuatu yang makruh
Kedua, tahalli. Merupakan upaya untuk menghiasi diri dengan tindakan-tindakan yang baik, sesuai dengan kewajiban Allah, kesunahan, maupun kemanfaatan bagi orang lain. Pada posisi ini maka seseorang akan selalu menghiasi kegiatan sehari-harinya dengan tindakan yang positif dan tidak akan menyia-nyiakan.
Ketiga, tajalli. Merupakan proses sudah terbukanya hijab Allah pada seseorang karena sudah pada maqam ma’rifat pada Allah. Diri yang bersih, diri yang senantiasi menghiasi kehidupan dengan beribadah, dan pada akhirnya mencapai posisi kedekatan dengan Allah. Di sinilah hakikat posisi ihsan seseorang yang merasa bahwa Allah dirasakan sangat dekat, selalu mengawasi, dan selalu menyertai dalam gerak dan langkah.
TMR Kalisuren, 22 Juni 2016, Pukul 05:10 – 05:50 WIB
Kitab Tijan Durori, Fasal Sifat Kaunuhu Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiron

Qadiran

Pengajian Ba'da Subuh 16 Ramadhan 1437 H
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى كَوْنُـهُ قَادِرًا وَضِدُّهُ كَوْنُـهُ عَاجِزًا وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ دَلِيْلُ الْقُدْرَةِ
Dan wajib dalam haq Allah Ta’ala sifat kaunuhu Qadiran (كونه قادرا) yang berarti adanya Allah berkuasa. Lawannya adalah sifat kaunuhu ‘Ajizan (كونه عاجزا) yang berarti Allah lemah. Dan dalil atas sifat Qadiran yaitu dalil sifat Qudrat.
Penjelasan:
Sifat Qadiran sesungguhnya sebagai perwujudan dari kekuasaan Allah, baik akan terwujud atau tidak terwujud. Allah berkuasa atas semua makhluk-Nya, baik untuk menciptakan dan menghancurkan. Kekuasaan Allah swt. tidak terbatas. Kekuasaan Allah tidak sama dengan kekuasaan makhluk-Nya, misalnya manusia. Jika manusia menjadi raja maka kekuasaannya hanya sebatas wilayahnya, sedangkan Allah berkuasa atas semuanya.
Hal demikian sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 26-27:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكِ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ تُولِجُ الَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي الَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala se-suatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (Ali Imran: 26-27).
Nabi berjuang bukan untuk mencapai kekuasaan atau mencapai jabatan tertinggi sebagai kepala negara, tetapi untuk kebesaran agama dan tegaknya syiar Allah. Secara alamiah maka terbentuklah komunitas masyarakat kota yang dinamai Madinah. Model masyarakat madani berkembang pesat sehingga Kaisar Persia merasa terancam atas eksistensi komunitas muslim tersebut, dan kemudian memerintahkan untuk menangkap Nabi Muhammad yang dianggap telah mengacaukan kemapanan masyarakat Arab.
Oleh karena itulah para sahabat meminta kepada Rasulullah untuk menaklukkan Kekaisaran Persia dan Romawi. Pada masa itu, Romawi dan Persia merupakan dinasti yang sangat luar biasa kuat dan maju dalam berbagai bidang. Dalam Tafsir Al-Maraghy disebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Munafik menertawakan keinginan umat Muslim yang ingin mengalahkan dua kekuatan digdaya di masa itu, Persia dan Romawi. Peristiwa inilah yang menjadikan turunnya Surat Ali Imran ayat 26-27, bahwa tidak ada yang tidak mungkin terwujud ketika Allah sudah menghendaki.
Faidah:
Rasulullah pernah menyapa sahabat Muadz bin Jabal sesudah selesai sholat Dzuhur berjamaah.
“Aku tidak melihat kamu di masjid semalam?”
Lalu sahabat Muadz menjawab, “Maafkan aku Rasulullah, aku semalam tidak berjamaah. Ketika aku dalam perjalanan ke masjid aku bertemu dengan seorang Yahudi dan aku dikurung dirumahnya sehingga tidak bisa keluar”.
“Kenapa?”, tanya Rasulullah.
“Karena aku berhutang banyak kepada mereka, sehingga aku merayu dan berjanji akan segera melunasi kalau sudah ada uang”, jawab sahabat Muadz bin Jabal.
Kemudian Rasulullah tersenyum dan menepuk bahu sahabat Muadz. “Aku akan mengajarkan kamu 2 ayat ini. Jika kamu mau mengamalkannya, maka Allah akan meluaskan rizqimu agar kamu dapat melunasi hutang walaupun sebesar gunung”.
“Mau ya Rasulallah”, jawab Muadz
Maka Rasulullah mengajarkan kedua potongan ayat Al-Qur’an, yaitu Surat Ali Imran ayat 26-27 kepada sahabat Muadz bin Jabal.
TMR Kalisuren, 21 Juni 2016, Pukul 05:10 – 05:50 WIB
Kitab Tijan Durori, Fasal Sifat Kaunuhu Qadiran

Kalam

Pengajian Ba'da Subuh 15 Ramadhan 1437 H
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى الْكَلاَمُ وَهُوَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالى وَلَيْسَتْ بِحَرْفٍ وَلاَ صَوْتٍ وَضِدُّهَـا الْبُكْمُ وَهُوَ الْخَرْسُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ قَوْلُهُ وَكَلَّمَ اللهُ مَوسى تَكْلِيْمًـا
Dan wajib bagi Allah bersifat kalam yang berarti bicara, yaitu sifat terdahulu yang menguatkan Dzat Allah tanpa huruf dan tidak adanya suara. Lawannya adalah Allah itu bisu, yang berarti diam. Dan dalil atas sifat tersebut adalah firman Allah وَكَلَّمَ اللهُ مَوسى تَكْلِيْمًـا “Dan Allah berbicara dengan Musa dengan sebenar-benarnya pembicaraan”
Penjelasan:
Dalam pemahaman Kalam Allah, ulama Ahlussunnah membedakan atas 2 (dua) kategori kalam, yaitu:
Pertama, Kalam Dalil yang berupa lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bainal Mushaf), yang dibaca dengan lisan, dihafalkan di dalam hati, berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca. Pada posisi inilah maka Kitab Al-Qur’an yang sudah tercetak yang biasa dipegang orang disebut sebagai makhluk. Al-Qur’an dalam bentuk ini sebagai kalam Allah yang diungkapkan (‘Ibarah), sebagaimana kalau menulis lafaz Allah maka bukan berarti tulisan Allah itu yang disembah.
Kedua, Kalam Madlul yang menjelaskan bahwa kalam Allah kedua (al-Kalam adz-Dzati) tidak menyerupai kalam makhluk-Nya. Artinya, tidak berupa huruf maupun suara tertentu, dan bukan dengan bahasa tertentu. Pada posisi inilah Al-Qur’an jelas bukan makhluk. Oleh karena itulah maka ulama Ahlussunnah wal Jamaah tidak memperbolehkan secara mutlak "Al-Qur'an Makhluk", sebab pengertian Qur'an ada dua, yaitu pengertian al-Lafzh al-Munazzal dan dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati. Memahami dua pengertian tersebut, maka kalam Allah harus dibedakan antara al-Lafzh al-Munazzal dan al-Kalam adz-Dzati. Sebab, jika tidak dibedakan antara dua kategori tersebut maka sama halnya setiap yang mendengar bacaan Al-Qur’an disamakan dengan Nabi Musa yang mendengar Kalam Allah secara langsung sehingga disebut “Kalimullah”. Jika setiap manusia sama dengan Nabi Musa, maka tentu mustahil karena menjadikan kemuliaan dan keistimewaan Nabi Musa hilang.
Di antara dalil yang menguatkan bahwa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah: "... dan Dia Allah yang menghisab paling cepat". (QS. al-An'am: 62). Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda: "Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah". (HR. Al-Bukhari)
Makna Firman Allah: "Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82)
Dalam al-Qur'an Allah berfirman: "Inama Amruhu Idza Arada Sya'ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82). Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: "Kun", dengan huruf "Kaf" dan "Nun" yang artinya "Jadilah...!". Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata "Kun", maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: "kun, kun, kun...". Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya.
Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan. Kalau setiap menciptakan Allah menyatakan “Kun, Kun, dan Kun” tentu akan mengalami kecapekan karena banyaknya ciptakan yang dilakukan. Dan itu tentu kemustahilan.
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi'il) tidak terikat oleh waktu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baru, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah tidak boleh dikatakan baru.
Kemudian dari pada itu, kata "Kun" adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa, maka Allah diam, dan tidak memiliki kalam.
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 di atas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang dikehendakiNya.
TMR Kalisuren, 20 Juni 2016, Pukul 05:10 – 05:50 WIB
Kitab Tijan Durori, Fasal Sifat Kalam Allah

Hayat, Sama', Bashar

Pengajian Ba'da Subuh 13-15 Ramadhan 1437 H
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى الْحَيـاةُ وَهِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالى تَصُحِّحُ لَهُ أَنْ يَتَّصِفَ بِالْعِلْمِ وَغَيْرِهِ مِنَ الصِّفَـاتِ وَضِدُّهَـا الْمَوْتُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مَيْـتًا لَمْ يَكُنْ قَادِرًا وَلاَ مُرِيْدًا وَلاَ عَالِمًـا وَهُوَ مُحَالٌ. وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى السَّمِيْـعُ وَالْبَصِيْرُ وَهُمَا صِفَتَانِ قَدِيْمَتَانِ قَائِمَتَانِ بِذَاتِهِ تَعَالى يَنْكَشِفُ بِهِمَا الْمَوْجُودُ وَضِدُّهَمَا الصَّمَمُ والْعُمْيُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ قَوْلُهُ تَعَالى وَهُوَ السَّمِيْعُ وَالبَصِيْرُ
Dan wajib bagi Allah bersifat hayat yang berarti hidup, yaitu sifat terdahulu yang menguatkan Dzat Allah yang membenarkan kepada Allah atas adanya sifat almu dan sifat-sifat lainnya. Lawannya adalah Allah itu mati, maka tidaklah Allah sebagai dzat yang berkuasa, tidak berkehendak, dan tidak pula berilmu. Kesemuanya itu adalah kemustahilan.
Dan wajib bagi Allah sifat Sama’ (mendengar) dan Bashor (melihat). Yaitu dua sifat terdahulu yang keduanya menetap pada Dzat Allah yang dengannya tersingkap perwujudan. Lawannya adalah sifat Shommun (الصمم) yang berarti tuli, dan sifat ‘Umyun (العمي) yang berarti buta. Dan dalil atas kedua sifat tersebut adalah firman Allah "وهو السميع البصير"
Penjelasan:
Sifat Hayat Allah sangat menentukan keberadaan sifat-sifat yang lain, sebagaimana sama’ dan bashar. Tanpa sifat hayat maka sifat-sifat yang lain tidak berarti sama sekali. Hal demikian sebagaimana Allah maha melihat karena adanya sifat bashar, yang makna hakikatnya adalah melihatnya mata manusia adalah sebagai bukti adanya penglihatan. Demikian juga sifat sama’, mendengarnya manusia sesungguhnya bukti bahwa Allah maha mendengar.
Faidah:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Fatimah (puterinya), “Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
“Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu]. Dari Anas Ra., bahwa jika ada sesuatu yang membuat Nabi Saw. bersedih, beliau membaca, Ya hayyu ya qayyum birahmatika astaghiits. “Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Sunni)
Cerita dari Habib Saggaf bin Mahdi, Parung tentang karomah Mbah Kholil Bangkalan ketika belajar di Makkah berguru dengan syeikh Abdul Ghani Al-Bimawy, selalu mengamalkan lafadz dzikir “Ya Hayyu Ya Qayum, La Ilaha Illa Anta” sebanyak 40 kali sebelum sholat subuh.
Setiap Mbah Kholil muda meminta kepada sang guru Syech Abdul Ghoni bin Shubuh bin Ismail Al Bimawy (Bima, Sumbawa) seraya berkata "Ya Tuan guru, saya ingin pulang"
“Pulang ke mana?”, tanya sang guru
“Ke Madura”, Jawab Mbah Kholil
Guru menyahut, Trus, ke sini mu kapan ?
"Besok" jawab Kyai Kholil
Seketika itu Syech Abdul Ghoni menjewer telinga kholil muda, dan saat itu pula beliau sampai di Madura.
Besok paginya, Kyai Kholil mengajak 5 tetangganya untuk ke Makkah seraya naik perahu sampan..
“Lho apa bisa?” tanya para tetangga yang ikut..
Kyai Kholil menjawab "Bisa atas izin Allah, Yuk mari kita bersama selalu membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum, La Ilaha Illa Anta"
Karena orang Madura saat itu masih banyak yang belum bisa baca Arab hanya berkata Kayum-kayyum.. akhirnya dapat sampai Makkah pagi itu juga
Hal ini terjadi berkali-kali sehingga menjadikan orang Madura banyak yang sampai ke Makkah dengan bersama karamat wali
TMR Kalisuren, 18-20 Juni 2016. Pukul 05:10 – 06:00 WIB
Kitab Tijan Durori, Fasal Sifat Hayat, Sama', Bashar

Selasa, 21 Juni 2016

Ilmu

Pengajian Rutin Ba'da Subuh 12 Ramadhan
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى الْعِـلْمُ وَهِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالى يَعْلَمُ بِهَـا الأَشْيَـاءَ وَضِدُّهَـا الْجَهْلُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ جَاهِلاً لَمْ يَكُنْ مُرِيْـدًا وَهُوَ مُحَالٌ
Dan wajib bagi Allah bersifat ilmu yang berarti mengetahui, yaitu sifat terdahulu yang menguatkan Dzat Allah yang mengetahui semua perkara. Lawan dari sifat jahlun yang berarti bodoh. Dalilnya adalah jika Allah bodoh maka tidak mungkin Allah berkehendak dan sangat mustahil Allah memiliki sifat yang bodoh.
Allah jelas mengetahui segala perkara baik pada masa sekarang, masa yang akan datang, dan masa yang sudah terlewati. Semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim. Dalam surat Al-Kahfi ayat 109:
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدا
Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).
Karena sifat ilmu ini sangat terkait dengan sifat Qudrat dan Iradat, maka penjelasan detail lebih fokus pada takdir yang telah dikehendaki Allah, karena Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya.
Dalam memahami ilmu Allah, maka dikenal dengan berbagai istilah yaitu wahyu, kasyaf, ilmu laduni (ilham), hikmah, kasyaf, firasat, dan lain-lain.
1. Terkait wahyu, sesungguhnya pengetahuan yang diberikan kepada Nabi dengan guru Malaikat Jibril.
2. Ilmu Laduni atau Ilham, diberikan oleh Allah ke orang-orang terpilih yang sholeh tanpa melalui proses ikhtiar. Ilmu ini langsung ke dalam hati, tanpa membawa syariat yang baru sehingga tidak berlawanan dengan ajaran Nabi. Dalil atas ilmu yang langsung diberikan oleh Allah ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 282: "Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan ajar kamu". Pada sisi lainnya, Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa yang beramal dengan ilmu yang dia tahu, Allah akan memberikan padanya ilmu yang dia tidak tahu.".
3. Firasat, adalah ilmu yang diberikan Allah berupa perasaan atau gerakan hati yang benar atau tepat karena mendapat bimbingan Allah. Rasulullah bersabda "Takutlah olehmu firasat orang mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah" (HR. At-Tirmidzi)
4. Ilmu Kasyaf, diberikan Allah dengan menyingkap pintu hijab yang menjadi penghubung antara alam sadar dan alam bawah sadar untuk memahami alam gaib. Oleh karena itu kasyaf, dapat dilalui melalui tahu, rasa, dengar, dan nampak.
TMR Kalisuren, 17 Juni 2016, Pukul 05:10 – 06:00 WIB
Kitab Tijan Durori, Fasal Sifat Ilmu Allah

Jumat, 17 Juni 2016

Iradat

Pengajian Ba'da Subuh 11 Ramadhan 1437 H
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلإِرَادَةُ وَهِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالى يُخَصِّصُ بِهَـا الْمُمْكِنَ بِالْوُجُودِ أَوْ بِالْعَدَمِ أَوْ بِالْغَـنِيِّ أَوْ بِالْفَقْـرِ أَوْ بِالْعِـلْمِ أَوْ بِالْجَهْلِ اِلى غَيْرِ ذلِكَ وَضِدُّهَـا الْكَرَاهَةُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ كَارَهًا لَكَانَ عَاجِزًا وَ كَوْنُـهُ عَاجِزًا مُحَالٌ
Dan wajib dalam haqnya Allah, yaitu sifat Iradat (Berkehendak). Sifat ini merupakan salah satu sifat yang qadim yang menetap dalam Dzatnya Allah yang menentukan segala sesuatu mungkin terjadi atau tidak terjadi, keadaan kaya atau miskin, berilmu atau bodoh atau keadaan lainnya. Lawan dari sifat iradat adalah Karahah (terpaksa), dan dalil atas itu adalah jika Allah terpaksa maka Allah lemah dan keberadaan Allah yang lemah merupakan suatu kemustahilan. Penjelasan:
Kehendak Allah adalah ketentuan Allah atas sesuatu baik waktu, tempat, atau sebagainya untuk diwujudkan atau ditiadakan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
(Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu).
Kejadian apapun yang terjadi di dunia ini adalah adalah sesuai Iradat atau kemauan Allah. Seseorang yang pintar karena sekolah, atau yang bodoh meski rajin sekolah adalah kemauan Allah. Demikian juga siapapun yang masuk surga dan masuk neraka adalah kemauan Allah.
Kisah Ibn Hajar Al-Asqolani
Beliau seorang yatim, Ayahnya meninggal pada saat beliau masih berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika beliau masih balita. Di bawah asuhan kakak kandungnya, beliau tumbuh menjadi remaja yang rajin, pekerja keras dan sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupannya serta memiliki kemandirian yang tinggi. Beliau dilahirkan pada tanggal 22 Sya’ban tahun 773 Hijriyah di pinggiran sungai Nil di Mesir bernama Asqolan.
Saat masih belajar di sebuah madrasah, ia terkenal sebagai murid yang rajin, namun juga dikenal sebagai murid yang bodoh, selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di ajarkan oleh gurunya, sehingga membuatnya patah semangat dan frustasi. Beliau memutuskan pulang meninggalkan madrasahnya. Di tengah perjalanan pulang, dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya, hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh di dalam sebuah gua. Ketika di dalam gua tertujulah pada sebuah tetesan air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun terkejut. Maka bergumamlah dalam hati, sungguh sebuah keajaiban.
Melihat kejadian itu beliaupun merenung, bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu berlubang karena tetesan air yang terus menerus. Dari peristiwa itu, seketika ia tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika ia di asah trus menerus maka ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar.
Sejak saat itu semangatnya pun kembali tumbuh lalu beliau kembali ke sekolahnya dan menemui Gurunya dan menceritakan pristiwa yang baru saja ia alami. Melihat semangat tinggi yang terpancar di jiwa beliau, gurunya pun berkenan menerimanya kembali untuk menjadi murid disekolah itu. Sejak saat itu perubahan pun terjadi dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan melampaui teman-temannya yang telah menjadi para Ulama besar dan ia pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab yang terkenal di jaman ini.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai ia sendirilah yang mengubah keadaan mereka sendiri” ( QS. Ar Rad : 11 ).
Dalam pendekatan dalil Iradat dan kisah Ibn Hajar Al-Asqolani, sesungguhnya kehendak Allah yang berupa takdir dikategorikan menjadi 2, yaitu:
Pertama, Takdir Mubrom, berupa takdir "sunnatullah" yang tidak dapat dirubah, seperti matahari terbit dari timur, peredaran bumi, peredaran bulan, maupun tentang kematian dan kelahiran.
Kedua, Takdir Mu'allaq, berupa takdir yang dapat berubah sesuai dengan hubungan ikhtiar hamba. Ikhtiar adalah cara pandang syari'at, sedangkan takdir adalah wilayah hakikat.
"Sehebat-hebat himmah dan tekad kita, tidak akan dapat merobohkan takdir Allah. Oleh karena itulah adanya The Power of DOA"
TMR Kalisuren, 16 Juni 2016, Pukul 05:10-06:40 WIB
Kitab Tijan Durori, fasal Sifat Iradat

Qudrat

Pengajian Ba'da Subuh 10 Ramadhan
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْقُدْرَةُ وَهِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالى يُوجَدُ بِهَا وَيُعَدِّمُ وَضِدُّهَا الْعَجْزُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ عَاجِزًا لَمْ يُوجَـدْ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ
Wajib dalam haq-nya Allah yaitu sifat Qudrat, yang mengandung arti sifat terdahulu yang menetap pada Dzat-Nya. Lawannya adalah sifat (العجز) yang berarti lemah. Dan dalil atas Allah bersifat Qudrat (berkuasa), yaitu jika keadaan Allah lemah, maka tidak akan dijumpai sesuatu pun dari aneka ragam ciptaan-Nya.
Penjelasan:
Sifat Qudrat termasuk kelompok sifat ma’ani, yaitu kelompok sifat yang ada pada Allah, jika dibukakan tabir hijab (penghalang) maka akan kelihatan sifat qudratnya Allah itu. Sifat qudrat ini menetap dalam dzat yang maha qodim, maka keadaan sifat qudrat tentu ikut qodim juga. Tidak didahului oleh lemah, tidak pernah diselingi oleh lemah, dan tidak akan diakhiri dengan lemah. Sifat qudrat ini termasuk sifat iftiqor yaitu adanya setiap makhluk pasti membutuhkan Allah.
Dalam perwujudan kehendak dan kemaha-kekuasaannya Allah, mencakup 4 (empat) sasaran perkara, yaitu:
Pertama, Wajib wujud muthlaq, yaitu wajib adanya sesuatu secara mutlak harus ada, seperti wajib adanya sifat qudrat, iradat, ilmu.
Kedua, Wajib wujud muqoyyad, yaitu adanya sesuatu karena sudah dijanjikan oleh Allah, baik sesuai dengan firmanNya maupun dalam hadis, seperti adanya surga, neraka, sifat Rasul, kiamat, atau mati.
Ketiga, Mukhal wajib, yaitu kemustahilan yang tidak akan terjadi oleh kehendak Allah, seperti allah menciptakan anakNya, atau IstriNya.
Keempat, Mumkinul Wujud, yaitu sesuatu yang mungkin dapat terwujud atau sesuatu yang tidak terwujud tergantung oleh Allah itu sendiri. Misal orang makan maka bisa dijadikan oleh Allah kenyang ataupun tetap lapar. Orang yang sudah rajin bekerja, tekun, dan ulet, maka bisa dijadikan oleh Allah kaya atau tetap saja miskin. Kalau Allah berkuasa, kenapa masih perlu adanya Malaikat untuk mengantar wahyu, mengatur rizqi, mencabut nyawa? Itu karena Allah adalah RAJA segala RAJA yang sangat BERKUASA. Kinerja Malaikat itulah yang menunjukkan adanya kekuasaan besar Allah.
Tidak mungkin raja di dunia itu mengerjakan urusan potong rumput, masak di dapur, atau ngepel lantai kerajaan. Oleh karena itu Raja memiliki banyak pelayan dan pembantu. Itulah Maha Berkuasanya Allah.
TMR Kalisuren, 15 Juni 2016, Pukul 05:10 - 06:00 WIB
Kitab Tijan Durori, fasal Sifat Qudrat

Wahdaniyyah (2)

Penjelasan Khoriqul Adah atau Khowariqul Adah (خوارق العادة)
Khoriqul adah atau khowariqul adah merupakan peristiwa yang terjadi di luar batas kemampuan manusia biasa. Peristiwa itu seperti seseorang yang dibakar api namun tidak merasakan panas. Seseorang dapat terbang dan berjalan di atas air. Atau seseorang yang tidak tergores meski dilukai menggunakan pedang atau senjata tajam lainnya.
خوارق العادة على أربعة أقسام
Para ulama menjelaskan jenis kejadian yang di luar nalar menjadi 4 (empat) kelompok besar:
Pertama, المعجزة المقرونة دعوى النبوة المعجوز عن معارضتها Mukjizat adalah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh Rasul. Keistimewaan tersebut tidak dapat dipelajari atau adanya proses usaha tertentu. Ini seperti Nabi Ibrahim di bakar Namrud tapi tidak merasakan panas, Nabi Musa membelah Laut Merah, Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati, atau Nabi Muhammad membelah rembulan.
Kedua, والكرامة وهى ما تظهر على يد كامل المتابعة لنبيه Karamah merupakan keistimewaan yang diberikan kepada wali karena kesempurnaan dalam meneladani perintah syari'at Nabi. Anugerah ini dimiliki tanpa adanya proses belajar maupun ritual amalan-amalan tertentu. Seperti karomah Mbah KH. Hasan Asy'ari (Mbah Mangli Magelang) yang dapat mengisi pengajian di Magelang, namun pada waktu yang sama mengisi juga di Wonosobo, Semarang, Jakarta, bahkan Sumatera. Atau karomah dari kisah-kisah wali jadzab (nyeleneh) lainnya. Bentuk karamah dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu 1) irhash (إرهاص) kepada calon nabi sebelum menerima wahyu, seperti Nabi Muhammad semenjak lahir sampai masa kenabian tidak pernah dihinggapi lalat atau nyamuk. dan 2) ma’unah (معونة) kepada seseorang yang beriman dengan istiqomah untuk tidak melakukan kemaksiatan.
Ketiga, والاستدراج هو ما يظهر على يد الفاسق المغتر Istidraj merupakan sebuah kekuatan yang dimiliki orang fasiq atau orang yang terjerumus dalam kemusyrikan. Misal kelebihan dalam harta yang diberikan kepada Qarun sehingga menjadi orang yang lupa ibadah. Atau orang yang meninggalkan sholat justru diberikan kenikmatan yang sangat berlebih oleh Allah dan semakin meningkat perbuatan maksiatnya (Baca Surat Al- Qalam ayat 17-33).
Keempat, والسحر وهو ما يحصل بتعلم ومباشرة سبب على يد فاسق أو كافر Sihir merupakan kekuatan yang diperoleh dengan cara ritual-ritual tertentu dan dikuasakan pada diri orang yang fasiq atau orang musyrik, dan orang kafir.
Sejarah perkembangan ilmu sihir sendiri marak semenjak meninggalnya Nabi Sulaiman. Iblis ketika masa Nabi Sulaiman masih hidup, suka mengintip kabar dari langit tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di dunia. Satu kabar yang didapatkan iblis, kemudian disampaikan kepada para pemuka Israel sebanyak 70 kabar sehingga 69 berita bersifat bohong. Catatan-catatan itulah yang kemuduan dianggap sebagai ramalan masa depan yang seolah manusia dapat merubahnya dengan disisipi mantra-mantra oleh Iblis. Oleh Nabi Sulaiman semua itu disita, dan dikubur di bawah singgasananya. Semenjak Nabi sulaiman meninggal maka Iblis menyebarkan isu bahwa Nabi Sulaiman hanya sekadar ahli sihir yang mantra-mantranya disimpan di bawah singgasana kerajaannya (Baca Surat Al-Baqarah ayat 102).
TMR Kalisuren, 14 Juni 2016, Pukul 05:15 - 06:00 WIB
Kitab Tijan Durori, fasal Sifat Wahdaniyyah
Sumber tambahan khoriqul adah: Kitab Bughyatul Mustarsyidin, hal. 298-299.

Wahdaniyyah (1)

Sifat Wajib Wahdaniyah َ
جِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْوَحْدَنِيَّـةُ فِى الذَّاتِ وَفِى الصِّفَاتِ وَفِى الأَفْعَالِ وَمَعْنَى الْوَحْدَانِيَـةِ فِى الذَّاتِ أَنَّهَا لَيْسَتْ مَرَكَّبَةً مِنْ أَجْزَاءٍ مُتَعَدِدَةٍ وَمَعْنَى الْوَحْدَانِيَـةِ فِى الصِّفَاتِ أَنَّـهُ لَيْسَ لَهُ صِفَتَانِ فَأَكْثَرَ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ كَقُدْرَتَيْنِ وَهَكَذَا وَلَيْسَ لِغَيْرِهِ صِفَةٌ تُشَابِهُ صِفَتَهُ تَعَالى وَمَعْنَى الْوَحْدَانِيَـةِ فِى الأَفْعَالِ أَنَّـهُ لَيْسَ لِغَيْرِهِ فِعْـلٌ مِنَ الأَفْعَالِ وَضِدُّهَا التَّعَدُّدُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُتَعَـدِّدًا لَمْ يُوجَـدْ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْمَخْلُوقَاتِ
Wajib dalam haqnya AllAh yaitu siFat wahdaniyat (tunggal), di dalam dzatnya dan sifatnya serta perbuatannya (penciptaanya). Adapun makna wahdaniyat dalam dzatNya adalah Allah tidak tersusun dari berbagai bagian yang berbilang. Adapun makna wahdaniyat dalam sifatNya adalah tidak adanya pada Allah dua sifat atau lebih yang menyamai dengan sifat-Nya. Adapun makna wahdaniyat dalam af’al (pekerjaanNya) adalah tidak adanya yang mempengaruhi apa yang dikehendaki Allah.
Lawan dari sifat wahdaniyyat adalah ta’addud (berbilang), yang merupakan kemustahilan bagi Allah.
Penjelasan.
Kata wahdaniyat secara bahasa yaitu "satu Allah", tapi yang dimaksud disini satu dalam artian tidak ada bilangannya, ia tidak terliputi oleh bilangan, satu bukan bagian dari yang banyak, seperti ada satu, ada dua, ada tiga dan seterusnya. Serta satunya itu bukan hasil merangkaikan dari bilangan bagian-bagian, seperti ada kata trimurtri yang menjadi satu dari hasil rangkaian sepertiga dari hitungan tiga bagian atau seperempat dari empat bagian.
Imam Nawawi Al-Bantany menjelaskan bahwa sifat wahdaniyat mencabut lima bilangan hal, yaitu:
1. Kam munfashil fi dzati, yang berarti tunggalnya Allah bukan bagian dari 2, 3, 4, 5, dan seterusnya
2. Kam muttashil fi dzati, yang berarti tunggalnya Allah bukan terdiri dari berbagai bagian, misal sepertiga dari bagian ketiga, atau seperempat dari bagian keempat.
3. Kam munfashil fi shifat, yang berarti sifatnya Allah berbeda dengan sifat-sifat di luar Allah, seperti berkuasa, berilmu, yang jelas berbeda antara kuasa dan ilmunya Allah dengan makhlukNya
4. Kam muttashil fi shifat, yang berarti sifatnya Allah hanya satu untuk Allah, yaitu qudrat, iradat, ilmu, dan hayat-Nya Allah hanya satu bukan dua, tiga, empat, dan seterusnya
5. Kam Munfashil fil af’al, yang berarti tindakan Allah tidak tergantung apapun dan terpisah dari tekanan atau pengaruh makhlukNya.
Dalam mengakidahi sifat wahdaniyyah, perlu memperhatikan empat prinsip dalam ibadah setiap harinya, yaitu:
1. La Maujudun Illallah (tidak ada yang terwujud / terjadi kecuali oleh Allah)
2. La Ma’budun Illallah (tidak ada yang disembah kecuali hanya Allah)
3. La Mathlubun Illallah (tidak ada yang dicari keridhoaan kecuali pada Allah)
4. La Maqshudun Illallah (tidak ada maksud perbuatan yang dilakukan kecuali pada Allah)
Kehendak Allah terhadap makhluknya, digolongkan pada 2 bentuk:
1. Af’al Mukhtar, yaitu kehendak yang terjadi dengan adanya sambungan sebab akibat dari makhluknya. Manusia untuk menjadi kaya maka dengan syarat rajin dan tekun bekerja. Seorang atlet supaya menjadi juara maka butuh latihan terus menerus dan tidak patah semangat. Seorang pelajar agar lulus ujian dengan baik maka harus belajar dan mencoba dengan berbagai latihan soal
2. Af’al Mudhtar, yaitu kehendak Allah yang tidak ada hubungan sama sekali dengan makhluknya. Misal Allah menciptakan langit, bumi, surga, neraka, siang, dan malam.
Kedua model kehendak Allah inilah yang kemudian juga memunculkan istilah khoriqul adah. Perbuatan atau kejadian yang terjadi di luar kebiasaan pada umumnya.
Irhas (calon nabi), Mukjizat (Nabi), Karomah (Wali), Ma'unah (Orang Sholeh), Istidraj (Orang Fasik), Sihir atau Ihana (Kafir Kemusyrikan) adalah bentuk-bentuk perbuatan yang di luar kebiasaan manusia pada umumnya berdasarkan tingkat pelaku. Pada aspek kehalalan maupun keharaman, perlu memperhatikan tindakan, maksud, dan tujuan, serta cara khoriqul adah itu terwujud. Wallahu a'lam
TMR Kalisuren, 11-13 Juni 2016, 05:15 - 06:00 WIB
Kitab Tijan Durori, fasal Sifat Wahdaniyat * Penjelasan lanjutan tentang khoriqul adah, session ke-2

Qiyamu Bi Nafsi

Pengajian Ba'da Subuh Ramadhan
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْقِيَامُ بِالنَّفْسِ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لاَيَفْتَقِرُ اِلى مَحَلٍ وَلاَاِلى مَخَصِّصٍ وَضِدُّهُ اَلإِحْتِيَاجُ اِلى الْمَحَلِ وَالمَخَصِّصِ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ احْتَـاجَ اِلى مَحَلٍ لَكَانَ صِفَةً وَكَونُهُ صِفَة مُحَال وَ لَوْ احْتَـاجَ اِلى مَخَصِّصٍ لَكَانَ حَادِثًـا وَكَونُهُ حَادِثًـا مُحَالٌ وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى
Wajib dalam haqnya Allah yaitu sifat al-qiyamu binnafsi (berdiri sendiri), yang bermakna sesungguhnya Allah tidak butuh tempat dan tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya. Lawan dari sifat ini adalah al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh terhadap yang menentukan. Dalil yang memperkuat sifat alqiyamu binnafsi adalah jika Allah membutuhkan tempat maka terbukti bahwa Allah sama dengan makhluk, sedangkan sifat tersebut merupakan kemustahilan.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 21)
Maksud al-qiyamu binafsi bukan berarti Allah berdiri yang asalnya tidak ada kemudian dengan sendirinya menjelma, tetapi berdiri dengan dzat-Nya sendiri, berupa adanya Allah tidak membutuhkan yang menciptakan, adanya Allah tidak membutuhkan yang menentukan, dan adanya Allah tidak membutuhkan tempat untuk menetap. Tidak butuhnya tempat bagi Allah itu menjauhkan sifat kemustahilan dari pertanyaan dimana, yang berhubungan dengan depan, belakang, kiri, kanan, atas, bawah, luar, dalam, menempel, dan berpisah. Hal demikian untuk menjadi parameter bahwa Allah benar-benar tidak membutuhkan tempat, sedangkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an itu bersifat mutasyabihat yang tidak dapat menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
1. Jika Allah bersemayam di arsy, maka arsy itu harus bersifat lebih duluan dari adanya Allah. Bagaimana Allah ketika arsy belum diciptakan?
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (Surat Thaha ayat 5)
2. Jika Allah berada di langit, bagaimana dengan di bumi? Jika Allah berada di bumi, bagaimana dengan di langit? Padahal diriwayatkan bahwa setiap sepertiga malam terakhir Allah turun ke langit bumi.
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَٰهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَٰهٌ ۚوَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (Surat Az-Zukhruf ayat 84)
3. Jika manusia menghadapkan diri ke manapun, maka di situlah wajah Allah. Dalil ini seolah menjadi penguat bahwa Allah ada di mana-mana. Dan itu adalah kemustahilan yang tidak sesuai sifat Qiyamu Binafsi.
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (Surat Al-Baqarah ayat 115)
4. Jika hamba-Nya bertanya tentang Dia, maka Rasulullah mendapatkan wahyu bahwa Allah itu lebih dekat daripa urat leher manusia.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (Surat Qaaf ayat 16)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ (Surat Al-Baqarah ayat 186)
5. Allah itu bersama kamu di mana saja kamu berada.
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚوَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (Surat Al-Hadid ayat 4)
Perbedaan pemaknaan dari beberapa dalil terkait keberadaan Allah, ulama Asy’ariyah menjelaskan bahwa terdapat makna qorib (denotatif) dan makna ba’id (konotatif). Hal ini sebagaimana di masyarakat umum bisa disebutkan ada orang yang panjang tangan karena memang asli tangannya panjang, namun istilah panjang tangan juga diartikan sebagai orang yang suka mencuri. Hal tersebut juga sama ketika menyebutkan yang di atas, yang dapat diartikan sebagai penunjuk arah dan pada sisi lainnya adalah kekuasaan yang paling berkuasa.
TMR Kalisuren, 10 Juni 2016, Pukul 05:15 - 05:50
Kitab Tijan Durori, fasal Sifat Qiyamu Binnafsi

Mukhalafatu Lil Hawaditsi

Pengajian Ba'da Subuh Ramadhan
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لَيْسَ مُمَـاثِلاً لِلْحَوَادِثِ فَلَيْسَ لَهُ يَدٌ وَلاَ عَيْنٌ وَلاَ أُذُنٌ وَلاَ غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ صِفَـاتِ الْحَوَادِثِ وَضِدُّهَا الْمُمَاثَلَةُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُمَاثِلاً لِلْحَوَادِثِ لَكَانَ حَادِثًا وَهُوَ مُحَالٌ
Dan wajib dalam haqnya Allah yaitu sifat Mukholafatu lil Hawaditsi. Arti sifat ini adalah Allah tidak ada keberadaanNya menyerupai atas perkara yang baru. Maka dari itu, Allah mustahil disifatkan Mumatsalah Lil Hawadits (sama dengan makhluk yang baru) seperti memiliki tangan, mata, telinga, dan perkara yang seperti sifat-sifat baru. ليس كمثله شئ وهو سميع البصير (الشورى :
١١
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Asy-Syura: 11)
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya” (QS Al-Ikhlash: 4)
Mushannif (Imam Nawawi Al-Bantany) memberi contoh bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak ada telinga dan tidak ada perkara yang sejenisnya.
Apabila ada (nash) dalam alqur’an atau dalam al-hadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa Allah menyerupai makhluk, hal tersebut ada dua sorotan:
1. Menurut ulama kholaf, (nash) al-qur’an dan al-hadits mesti di(ta’wil), dengan kata lain mesti disalurkan dengan makna yang layak terhadap Allah.
2. Menurut ulama salaf, (nash) al-qur’an dan al-hadits mesti di(tawidl), dengan kata lain nash ini mesti dibekukan serta diserahkan kepada Allah maknanya, karena khawatir menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.
Contoh nash yang menyerupai terhadap Allah, yaitu
yadulloh, asal arti tangan Allah
ainulloh, asal arti mata Allah
wajhulloh, asal arti wajah Allah.
Kita ambil perumpamaan matahari dan bulan.
Pada malam hari kita melihat bulan bersinar menyinari bumi. Sinarnya masuk ke dalam lubang ventilasi rumah, kemudian mengenai cermin almari dan selanjutnya oleh cermin tersebut sinar bulan dipantulkan ke lantai. Lantai akan menjadi terang karenanya.
Lantai menjadi terang karena pantulan cahaya cermin, cermin bersinar karena cahaya bulan, sedangkan bulan memantulkan cahaya dari matahari. Dalam hal ini matahari kita sebut sebagai sumber cahaya yang pertama, sedangkan bulan yang kedua, cahaya cermin hanya merupakan bias saja dari cahaya matahari. Samakah cahaya bulan, cahaya cermin dengan cahaya matahari yang medrupakan sumber cahaya? Tidak.
Bahkan bulan dan cermin pada hakikatnya tidak memiliki cahaya. Cahaya bulan dan cermin adalah milik matahari. Maka salahkah jikalau ada orang yang berkata: “ Sebenarnya yang menyinari lantai bukan cermin ataupun bulan, melainkan matahari.”
Cahaya matahari dalam perumpamaan di atas disebut cahaya hakiki sedangkan cahaya selainnya disebut cahaya majazi. Dalam perumpamaan di atas bisa kita kembangkan lebih jauh lagi. Sinar matahari bisa dimanfaatkan berbagai keperluan. Seperti dijadikan penggerak mobil tenaga surya, kalkulator dan lain-lain. Hakikat sinarnya tetap satu tidak berubah-ubah. Tetapi bentuk pancarannya bermacam-macam.
Intinya tetap satu yang tidak bisa diserupakan, yaitu Tenaga Inti Matahari. Jadi yang berbeda satu sama lain adalah bentuk pancarannya.
TMR Kalisuren, 9 Juni 2016, pukul 05:10 - 05:45 WIB
Tijan Durori Fasal sifat Mukholafatu Lil Hawadisi

Rabu, 08 Juni 2016

Qidam dan Baqa' Allah

Sifat Wajib Allah, Qidam dan Baqa'
وَيَجِبُ الْقِدَمُ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ لاَ أَوَّلَ لَهُ تَعَالى وَضِدُّهُ الْحُدُوْثُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ حَادِثًا لاَحْتَاجَ اِلَى مُحْدِثٍ وَهُوَ مُحَالٌ وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى أَلْبَقَاءُ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لاَ آخِرَ لَهُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ فَانِيًا لَكَانَ حَادِثًا وَهُوَ مُحَالٌ
Dan wajib sifat Qidam (terdahulu) dalam haq Allah. Artinya tiada permulaan bagi Allah. Lawannya berupa sifat Hudust (baru). Dan dalil atas sifat Qidam yaitu jika Allah merupakan sesuatu yang baru, maka tentu Allah membutuhkan terhadap pembaharu. Dan itu mustahil.
Dan wajib sifat Baqa' (kekal) dalam haq Allah. Artinya Allah tiada akhirnya. Dan dalil atas sifat Baqa' Allah yaitu jika Allah merupakan sesuatu yang Fana (rusak), maka tentu Allah merupakan sesuatu yang baru. Dan itu mustahil.
Secara harfiyah, Qidam memiliki 3 pengertian:
1. Qidam idhofi, adanya sesuatu setelah adanya sesuatu. Seperti ayah adalah qadim dari anak
2. Qidam zamani, sesuatu sdh lama ada dari yang sebelumnya tidak ada. Seperti alam semesta yang awalnya tidak ada
3. Qidam Dzati, yaitu sesuatu yang tidak diawali dengan tidak ada, dan tidak terikat zaman. Qidam-nya Allah SWT.
Dengan demikian bahwa Allah itu Qidam (tiada permulaan wujud-Nya).
HIKMAH dan ATSAR:
Seorang Atheist (kafir) datang kepada Imam Abu Hanifah lalu bertanya: “Tahun berapa Allah itu berada?
Abu Hanifah menjawab: “Allah berada sebelum adanya tahun, tidak berawal dalam wujud-Nya.”
Orang kafir itu bertanya lagi: “Berikan kepada kami contoh”
Beliau menjawab: “Angka berapa sebelum empat?
Ia berkata: “Tiga”
Abu Hanifah bertanya lagi: “Angka berapa sebelum tiga?”
Ia menjawab: “Dua”
Abu Hanifah bertanya lagi: “Angka berapa sebelum dua?”
Ia memjawab: “Satu”
Abu Hanifah betanya lagi: “Angka berapa sebelum satu?”
Ia berkata: “Tidak ada sesuatu sebelum angka satu”
Lalu Abu Hanifah berkata: “Kalau tidak ada sesuatu sebelum satu. Maka Allah itu esa tidak ada yg mengawali dalam wujudnya.”
Lalu orang kafir itu bertanya lagi pertanyaan kedua: “Kemana Allah itu berpaling?”
Abu Hanifah menjawab: “Kalau anda menyalakan pelita di tempat yang gelap, kemana cahaya pelita itu berpaling?
Ia menjawab: “Ke setiap penjuru”
Abu Hanifah berkata: “Kalau cahaya pelita berpaling ke setiap penjuru, bagaimana halnya dengan cahaya Allah, pencipta langit dan bumi.”
Lalu orang kafir itu bertanya lagi dengan pertanyaan ketiga: “Terangkan kepada kami tentang dzat Allah. Apakah Ia jamad seperti batu, atau cair seperti air, atau Ia berupa gas?”
Abu Hanifah menjawab: “Apakah anda pernah duduk di muka orang yang sedang sakarat?”
Ia menjawab: “Pernah”
Abu Hanifah bertanya: “Apakah ia bisa bercakap setelah mati?”
Ia menjawab: “Tidak bisa”
Lalu beliau bertanya lagi: “Apakah ia bisa berbicara sebelum mati?”
Ia menjawab: “Bisa”
Lalu Abu Hanifah bertanya lagi: “Apa yang bisa merubahnya sehingga ia mati?”
Ia menjawab: “Keluarnya ruh dari jasadnya”
Abu Hanifah mejelaskan: “Oh kalau begitu keluarnya ruh dari jasadnya membuatnya ia tidak bisa berbicara?
Ia menjawab: “Betul”
Abu Hanifah bertanya: “Sekarang, terangkan kepada saya bagaimana sifatya ruh, apakah ia jamad seperti batu, atau cair seperti air, atau ia seperti gas?
Ia menjawab: “Kami tidak tahu sama sekali”
Abu Hanifah menjawab: “Jika ruh sebagai makhluk Allah, kamu tidak bisa mensifatkanya, bagaimana kamu ingin aku mensifatkan kepada kamu dzatnya Allah.
TMR Kalisuren, 8 Juni 2016 - 3 Ramadhan 1437 H
Kitab Tijan Darori, fasal sifat Qidam dan Baqa' Penjelasan tambahan dari Atsar Abu Hanifah

Wujud (Keberadaan) Allah

Sifat Wajib Kesatu, Wujud
فَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى الْوُجُودُ وَضِدُّهُ الْعَدَمُ وَالدَّلِـيْلُ عَلَى ذلِكَ وُجُودُ الْمَخْلُوْقَاتِ
Wajib sifat wujud itu hak Allah, yang berlawanan dengan ketiadaan (atheism). Dan dalil yang menunjukkan wujudnya Allah adalah keberadaan aneka ragam makhluk..
Jika ada sebuah peralatan yang baru dilihat, dan tidak pernah diketahui oleh siapapun di dunia ini untuk apa alat itu ada, maka siapa yang pertama kali bisa memberitahu mekanisme alat tersebut?
Tentu Pembuatnya, Tentu Penciptanya..
Bagaimana alam ini tercipta dan ada? Maka ilmu sains menyatakan bahwa awalnya sebagai nebula utama, dan terjadi dentuman keras (big bang) sehingga tercipta galaksi, bintang-bintang, planet, matahari, bulan, dan bumi di mana manusia tinggal.
Teori Big Bang di dunia Internasional muncul pada 1970. Dan Al-Qur'an sudah menjelaskan teori Big Bang pada Surat Al-Anbiya ayat 30. Bumi dan langit awalnya menyatu, kemudian Allah pisahkan.
- Teori Bulan hanya memantulkan cahaya (QS. Al-Furqon ayat 61)
- Teori Bentuk Bumi Oval telur (QS. An-Naziyat ayat 30)
- Teori Matahari beredar dalam orbitnya (QS. Al-Anbiya ayat 33)
- Teori Siklus Air (QS. Az-Zumar ayat 21, QS. Ar-Rum ayat 24)
- Teori Kelamin Tumbuhan (QS. Taha ayat 53)
- Teori Embriologi (QS. Al-Mukminun ayat 12-14)
dan banyak teori ilmiah yang sudah dijelaskan di dalam Qur'an.
Allah sebagai penciptanya, dan Allah sendiri yang menjelaskan mekanisme penciptaannya sendiri.
Dimana keberADAan Allah? Bagaimana keADAan Allah?
Kalau Allah bertempat di arsy, maka Allah tidak butuh makhluknya padahal arsy adalah makhluk yang diciptakan Allah. Bagaimana Allah ketika arsy belum diciptakan?
Kalau Allah berada di atas, dan pada sepertiga malam terakhir turun ke bumi. Bagaimana Allah berpindah tidak ada di atas, dengan meninggalkan untuk turun ke bawah? Tidak penting Allah ada dimana, karena itu urusan Allah.
Allah tidak butuh tempat, karena tempat itu ciptaan Allah, sedangkan Allah tidak butuh dengan penciptaan-Nya.
Yang paling penting adalah keyakinan untuk menyatakan "Atasyhadina" dengan kalimat "Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammad rasulullah".
TMR Kalisuren, 7 Juni 2016, pukul 05:15 - 05.45 WIB
Kitab Tijan Darori, fasal sifat Wujud.
Penjelasan tambahan dari Kitab Sunan Nasa'i, syarah Imam Jalaluddin As-Suyuthi