Mari Makmurkan Masjid dengan Sholat Berjamaah di Masjid

Rabu, 23 Oktober 2013

Problema Umat: Hukum Menuliskan Nama Suami di Belakang Nama Istri

Pengajian Malam Senin di Rumah Bapak Adriadi/ Ahad, 13 Oktober 2013
Pertanyaan
Bagaimana hukum menambahkan nama suami di belakang nama istri?
Pembahasan
Banyak sekali blog dan website yang mengharamkan penambahan nama suami di belakang nama istri, dan isinya adalah copy paste. Modal pengharamannya bersandar pada hadis yang diartikan sebagai penisbahan [pengakuan] sebagai orangtua atau karena mengikuti tradisi orang-orang kafir.
“Barangsiapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya, atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, Malaikat, dan segenap manusia. Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan menerima ibadahnya yang wajib maupun yang sunnah” [HR. Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib] “Barangsiapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya” [HR. Bukhori (3982), Muslim (220), Abu Dawud (5113), Ibnu Majah (2610), Ibnu Hibban (415), dan Ahmad (1500).
Hadis-hadis di atas jelas tidak berhubungan dengan menambah nama suami di belakang nama istri. Hadis di atas adalah pembahasan tentang tata cara adopsi anak dan kemudian anak itu dinisbatkan sebagai anak sendiri dan ayah sendiri. Hukum menisbatkan inilah yang tidak boleh dan haram, jadi bukan berkaitan dengan menambah nama suami di belakang istri.
Pengharaman nisbat nama ayah lain sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5: مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمْ اللاَّئِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (الأحزاب: 4). ادْعُوهُمْ ِلأَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب: 5).
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa “dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)”. Inilah maksud menggantikan nama orangtua dengan yang lain. Ayat ini turun berkaitan dengan masalah Zaid bin Haritsah yang telah diadopsi Rasulullah sebagai anaknya sendiri, sehingga dipanggil Zaid bin Muhammad. Maka Allah memutuskan tali nasab ini dengan ayat di atas yaitu mengembalikan nasab kepada bapaknya yang sebenarnya.
Anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung sebagaimana maksud lafaz وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ. Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah di belakang nama seseorang. Dalam hadis lain, Rasulullah menyatakan: “Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.
Pelarangan dengan mendasarkan dalil di atas dimaksudkan jika dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, sebagaimana contoh kata anak, bin, binti, dan lain sebagainya. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahfahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam. Hal yang Tidak Boleh
Yang tidak boleh adalah menisbatkan pada selain ayah, sedangkan dengan penambahan nama suami di belakang nama istri bukan bermaksud untuk mengacaukan nasab.
Penambahan nama suami pada nama istri adalah pergeseran budaya penamaan secara global. Mungkin ini diawali oleh Negara barat. Tapi ternyata Negara barat pun menggunakan cara penulisan nama berdasarkan hubungan keluarga dengan mencantumkan nama ayah sebagaimana dalam Islam yang menggunakan “bin atau binti”.
Dalam penamaan Arab yang menunjukan hubungan ayah itu dipisahkan dengan kata “bin/binti”. Gaya ini digunakan oleh beberapa Negara – walau bisa berarti hubungan keluarga, tempat asal, pekerjaan atau hubungan pernikahan.
Contoh :
Son – Norwegia (Alexander Stevenson – Alexander anak dari Steven)
Van – Belanda (Henry van Willem – Henry dari Willem – nama kota)
Es – Portugis (Goncalves – Anak dari Goncalvo)
Pur – Persia (Mahdipur – Anak dari Mahdi)
Zadeh – Persia (Muhammadzadeh – Anak dari Muhammad)
Bin / Ibnu – Arab (Ibnu Sina – Anak dari Sina
Di / De – Itali (di Cannio – Anak dari Cannio)

Tidak ada komentar: