Mari Makmurkan Masjid dengan Sholat Berjamaah di Masjid
Kamis, 24 Oktober 2013
Kurban di Perumahan Tjitra Mas Residence
Hewan Kurban 15 Kambing
Dalam hari raya Idul Adha 2013 ini, Masjid Al-Muhajirin yang berada di lingkungan warga Perumahan Tjitra Mas Residence, Desa Kalisuren-Tajurhalang, Bogor, memotong 15 kambing hewan kurban. Pemotongan dilaksanakan setelah sholat ied Idul Adha (Selasa, 15 Oktober 2013), mulai pukul 9 pagi, yang dipimpin langsung oleh Ustadz Taufiq.
Daging kurban dibagikan menjadi 250 paket yang terbagi untuk warga perumahan sebanyak 160 paket, untuk panitia 30 paket, dan 70 paket untuk warga di luar lingkungan perumahan.
Kajian 9 Kitab Taqrib: Perkara Membatalkan Wudhu
Di Rumah Ustadz Taufiq, Blok D2 / Ahad, 20 Oktober 2013
(فصل) والذي ينقض الوضوء ستة أشياء ما خرج من السبيلين والنوم على غير هيئة المتمكن وزوال العقل بسكر أو مرض ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل ومس فرج الآدمي بباطن الكف ومس حلقة دبره على الجديد
Artinya: Perkara yang membatalkan wudhu ada 6 (enam): sesuatu yang keluar dari dua jalan (depan belakang), tidur dalam keadaan tidak tetap, hilang akal karena mabuk atau sakit, sentuhan laki-laki pada wanita bukan mahram tanpa penghalang, menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan bagian dalam, menyentuh kawasan sekitar anus (dubur).
Penjelasan
1. Keluarnya Dari "Lubang Depan" dan "Lubang Belakang"
Apapun yang keluar dari lubang depan (penis) dan lubang belakang (anus) maka membatalkan wudhu, selain air mani karena menyebabkan wajibnya mandi (hadas besar) bukan menyebabkan batalnya wudhu menurut Imam Syafi'i.
Bagaimana jika keluar darah dari tempat lain atau keluar air seni karena adanya operasi?
Para fuqaha sedikit berbeda pendapat dalam masalah keluarnya darah dari tubuh (bukan hadih atau nifas). Sebagian mengatakan bahwa membatalkan bila keluarnya banyak, sedangkan yang lainnya mengatakan tidak membatalkan baik sedikit atau banyak.
Yang pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa keluarnya darah karena luka kecil bukanlah termasuk hal yang membatalkan wudhu dan juga karena yang dianggap membatalkan hanyalah darah yang mengalir keluar deras dari tubuh. Sedangkan satu atau dua titik di tubuh kita yang luka atau di gusi yang sakit, tidaklah merupakan hal yang membatalkan. Hal itulah yang dikatakan oleh Al-Hanafiyah dalam pendapat mereka tentang darah yang keluar dari tubuh kalau jumlahnya sedikit. Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Hanabilah meski dengan dalil-dalil yang tidak terlalu kuat. Karena hadits-hadits yang mereka ajukan umumnya lemah. Misalnya hadits “Setitik dua titik darah itu tidak mewajibkan wudhu’, kecuali bila darah itu mengalir.” Hadits ini dinilai sangat dhaif oleh Ibnu Hajar dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthuny.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah secara tegas mengatakan bahwa keluarnya darah dari tubuh sama sekali tidak membatalkan wudhu`. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yakni beliau pernah melakukan hijamah atau berbekam dan setelah itu beliau shalat tanpa berwudhu’ lagi. Hijamah adalah salah satu metode penyembuhan penyakit dengan cara mengeluarkan darah kotor yang berwana kehitaman. Cara ini dikenal sejak masa Rasulullah SAW hingga sekarang ini. Namun hadits yang menjelaskan hal itu terbilang dha`if yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthuny dan Al-Baihaqi sebagaimana tertuang di dalam kitab Nailul Authar halaman 189 jilid 1. Dalil lain yang digunakan adalah Ubad bin Bisyr yaitu: “Bahwa dia terkena anak panah dan melakukan shalat. Dia tetap meneruskan shalatnya.” (HR Bukari Ta`liqan, Abu daud dan Ibnu Huzaemah).
Dan tidak didapat keterangan dari Rasulullah SAW bahwa beliau diminta untuk mengulangi shalatnya, sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa keluarnya darah dari tubuh seseorang tidaklah membatalkan wudhu`nya.
2. Tidur Keadaan Tidak Tetap
Tidur ketika duduk yang dapat membatalkan wudhu adalah tidur yang tidak tetap posisi duduknya, misalnya ketika kita tertidur dalam posisi duduk begitu kaget posisi kita sudah berubah dari posisi awal. Nah, tidur yang semacam inilah yang dikatakan dalam kitab sebagai tidur yang “tidak dalam keadaan mutamakkin/غير هيئة المتمكن“. Tidur dalam keadaan duduk yang tidak mutamakkin (berubah posisi) adalah membatalkan wudhu.
Dalam sebagian naskah kitab yang lain ada tambahan kalimat, yaitu tidur yang membatalkan wudhu adalah “tidur yang tidak tetap posisi di atas tanah tempat duduknya, sehingga pada sebagian naskah kitab tertulis:
النوم على غير هيئة المتمكن من الارض بمقعده
Maksudnya apabila seseorang duduk di atas tanah dan tertidur, kemudian ketika terbangun posisi duduknya sudah berubah, maka wudhu’nya batal. Perlu diperhatikan bahwa walaupun dalam naskah kitab tersebut tertulis “duduk di atas tanah” bukan berarti jika kita duduk di atas tempat lain seperti kursi dan dipan tidak batal wudhu’nya. Tetap batal wudhunya, jika posisi duduk kita sudah berubah dari posisi awal.
Kemudian bagaimana dengan tidur dalam posisi berdiri atau berbaring?. Kedua-duanya dapat membatalkan wudhu’ sekalipun posisi kita tidak berubah. Jadi kalau kita tertidur dalam posisi berdiri atau berbaring maka kita harus mengambil wudhu’ lagi, karena sudah batal walaupun posisi kita tidak berubah.
Para mazhab berbeda pendapat mengenai tidur yang membatalkan.
a. Hanafiyah berpendapat, bahwa tidur itu sendiri tidak membatalakan wudhu’ tetapi cara orang itu tidur yang perlu diperhatikan.
1)Ia idur dengan berbaring miring
2)Ia tidur telentang di atas punggungnya
3)Ia tidur diatas salah satu pangkal pahanya
Wudhu’ seseorang menjadi batal, apabila dia tidur seperti yang disebutkan diatas. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya wudhu’ itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena bila dia tidur berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas) persendiannya.” (HR: Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad)
Hanafiyah menyamakan tidur berbaring dengan tidur telentang dan tidur di atas salah satu pangkal paha, karena persendiannya lunak, dan tidak dapat mengontrol apakah ia buang angin atau tidak.
Kemudian mereka mengatakan wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya dia tidur duduk tegak tidak bergeser dari tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini didasarkan keyakinan, bahwa persendiannya tidak merenggang yang memungkinkan dia berhadats (buang angin).
b. Malikiyah berpendapat, bahwa tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila seseorang tidurnya nyenyak, baik sebentar bmaupun lama, baik dalam keadaan berbaring, duduk, maupun sujud. Wudhu’ tidak batal, apabila seseorang tidur tidak nyenyak (tidur ringan).
c. Syafi’iyah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila orang itu tidak mantap duduk di tempatnya. Apabila duduknya mantap, tidak bergeser dan tidak renggang, maka wudhu’nya tidak batal. Demikian juga, wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya hanya sekedar mengantuk saja dan suara di sekitar masih disengarnya, walaupun tidak memahamminya dengan sempurna.
d. Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila dia tidur dalam keadaan bagaimanapun.
3. Hilang Akal Karena Mabuk atau Sakit
Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan, pingsan, mabuk, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran seseorang.
Mengenai hilang akal karena gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membatalkan wudhu’, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab lainnya yang membatalkan wudhu’.
4. Sentuhan Laki-laki pada perempuan bukan mahram tanpa penghalang
Syafi’iyaH berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah berusia lanjut atau masih muda.
Oleh golongan Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’.
Menurut Syafi’iyah wudhu’ juga menjadi batal apabila menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau tidak seperti pada golongan Malikiyah.
5. Menyentuh Kemaluan dengan Telapak Tangan
Yang dimaksudkan dengan menyentuh kemaluan adalah menyentuhnya tanpa adanya pembatas. Sedangkan apabila seseorang menyentuh kemaluan dengan pembatas misalnya dengan kain atau pakaian, maka itu tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi'i -pendapat beliau yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Terdapat pula hadits yang serupa dengan di atas dari Ummu Habibah, Abu Hurairah, Arwa binti Unais, 'Aisyah, Jabir, Zaid bin Kholid, dan 'Abdullah bin 'Amr.
6. Menyentuh Area Anus / Dubur
Menyentuh dubur, sebagaian ulam a’ menyamakan hukumnya dengan hukum menyentuh kemaluan. Namun pendapat yang kuat adalah dubur tidak bisa dianalogikan dengan kemaluan dengan dalih bahwa keduanya adalah sama-sama tempat keluar najis. Karena batal dan tidaknya wudhu seseorang yang menyentuh kemaluan bukan karena kenajisan, dan juga sudah dipahami bahwa menyentuh sesuatu yang najis bukanlah pembatal wudhu. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ats Tsauri.
Rabu, 23 Oktober 2013
Problema Umat: Hukum Menuliskan Nama Suami di Belakang Nama Istri
Pengajian Malam Senin di Rumah Bapak Adriadi/ Ahad, 13 Oktober 2013
Pertanyaan
Bagaimana hukum menambahkan nama suami di belakang nama istri?
Pembahasan
Banyak sekali blog dan website yang mengharamkan penambahan nama suami di belakang nama istri, dan isinya adalah copy paste. Modal pengharamannya bersandar pada hadis yang diartikan sebagai penisbahan [pengakuan] sebagai orangtua atau karena mengikuti tradisi orang-orang kafir.
“Barangsiapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya, atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, Malaikat, dan segenap manusia. Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan menerima ibadahnya yang wajib maupun yang sunnah” [HR. Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib]
“Barangsiapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya” [HR. Bukhori (3982), Muslim (220), Abu Dawud (5113), Ibnu Majah (2610), Ibnu Hibban (415), dan Ahmad (1500).
Hadis-hadis di atas jelas tidak berhubungan dengan menambah nama suami di belakang nama istri. Hadis di atas adalah pembahasan tentang tata cara adopsi anak dan kemudian anak itu dinisbatkan sebagai anak sendiri dan ayah sendiri. Hukum menisbatkan inilah yang tidak boleh dan haram, jadi bukan berkaitan dengan menambah nama suami di belakang istri.
Pengharaman nisbat nama ayah lain sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمْ اللاَّئِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (الأحزاب: 4).
ادْعُوهُمْ ِلأَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب: 5).
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa “dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)”. Inilah maksud menggantikan nama orangtua dengan yang lain. Ayat ini turun berkaitan dengan masalah Zaid bin Haritsah yang telah diadopsi Rasulullah sebagai anaknya sendiri, sehingga dipanggil Zaid bin Muhammad. Maka Allah memutuskan tali nasab ini dengan ayat di atas yaitu mengembalikan nasab kepada bapaknya yang sebenarnya.
Anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung sebagaimana maksud lafaz وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ. Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah di belakang nama seseorang. Dalam hadis lain, Rasulullah menyatakan: “Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.
Pelarangan dengan mendasarkan dalil di atas dimaksudkan jika dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, sebagaimana contoh kata anak, bin, binti, dan lain sebagainya. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahfahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam.
Hal yang Tidak Boleh
Yang tidak boleh adalah menisbatkan pada selain ayah, sedangkan dengan penambahan nama suami di belakang nama istri bukan bermaksud untuk mengacaukan nasab.
Penambahan nama suami pada nama istri adalah pergeseran budaya penamaan secara global. Mungkin ini diawali oleh Negara barat. Tapi ternyata Negara barat pun menggunakan cara penulisan nama berdasarkan hubungan keluarga dengan mencantumkan nama ayah sebagaimana dalam Islam yang menggunakan “bin atau binti”.
Dalam penamaan Arab yang menunjukan hubungan ayah itu dipisahkan dengan kata “bin/binti”. Gaya ini digunakan oleh beberapa Negara – walau bisa berarti hubungan keluarga, tempat asal, pekerjaan atau hubungan pernikahan.
Contoh :
Son – Norwegia (Alexander Stevenson – Alexander anak dari Steven)
Van – Belanda (Henry van Willem – Henry dari Willem – nama kota)
Es – Portugis (Goncalves – Anak dari Goncalvo)
Pur – Persia (Mahdipur – Anak dari Mahdi)
Zadeh – Persia (Muhammadzadeh – Anak dari Muhammad)
Bin / Ibnu – Arab (Ibnu Sina – Anak dari Sina
Di / De – Itali (di Cannio – Anak dari Cannio)
Problema Umat: Aqiqah Untuk Anak Sudah Meninggal Atau Dewasa
Pembahasan di Rumah Bapak Adraidi/ Ahad, 13 Oktober 2013
Pertanyaan:
Apakah hukumnya aqiqah bagi anak? Kapankah masanya aqiqah itu dilaksanakan? Bila anak tersebut belum diaqiqahkan hingga dewasa, apakah orang tua masih memiliki hutang untuk melaksanakannya? Bolehkah kita mengaqiqahkan diri kita sendiri? Bolehkah aqiqah tersebut kita wakilkan pelaksanaannya kepada orang lain dan bolehkah diganti bentuknya dengan uang seharga hewan aqiqah?
Jawaban:
Aqiqah adalah sembelihan demi mensyukuri kelahiran jabang bayi, yang dilaksanakan pada hari ke-tujuh. Hukumnya sunat, menurut sebagian besar ulama, dan menurut ulama' Hanafiyah hukumnya mubah (dilaksanakan tidak dapat pahala, ditinggal tidak pula berdosa). Ada juga yang mengatakan wajib, seperti pendapatnya Imam al-Laitsy.
Hikmah disyari'atkannya aqiqah adalah mensyukuri ni'mat Allah yang telah mengaruniai jabang bayi, juga untuk menumbuhkan rasa persaudaraan di antara sanak famili dan handai tolan, dengan mengundang mereka pada pesta aqiqah tersebut.
Aqiqah dilaksanakan dengan menyembelih seekor kambing untuk seorang bayi. Sama saja, baik bayi laki-laki atau perempuan. Karena Rasulullah meng-aqiqahi ke dua cucunya, Hasan dan Husein, seekor untuk Hasan dan seekor untuk Husein. Ada juga yang berpendapat, jika bayi laki-laki harus 2 ekor kambing dan satu ekor untuk bayi perempuan, yang didasarkan pada hadis Rasul: 'anil ghulaami syataani mukaafiataani wa 'anil-jaariyati syaatun" (dua kambing untuk bayi laki-laki, seekor kambing untuk bayi perempuan). Saya kira, tinggal melihat kondisi. Kalau mampu membeli dua ekor kambing (jika bayi kita laki-laki), ya akan lebih baik.
Dengan melaksanakan aqiqah, maka seaakan-akan sang bapak telah membebaskan anaknya dari tuntutan. "Kullu mauluudin marhuunun bi 'aqiiqatihi" (setiap bayi tertuntut sampai pelaksanaan aqiqahnya), kata sebuah hadis.
Aqiqah Untuk Diri Sendiri
Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya.
Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah balig. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.
Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian balig dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri.”
Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak). Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.”
كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.
Aqiqah Untuk Sudah Dewasa
Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.
Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.
Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing.
Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)
Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)
Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.
Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur, termasuk jika anak tersebut telah eninggal dunia. Akan tetapi ketika itu, bagi anak yang masih hidup punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak di luar dari waktu yang diakhirkan setelah baligh. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)
Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]
Problema Umat: Menggabungkan Aqiqah dan Qurban
Pembahasan di Rumah Bapak Adriadi D3/ Ahad, 13 Oktober 2013
Pertanyaan
Saat anak kami lahir belum aqiqoh karena belum ada dana, lalu apakah nantinya dapat kami gabungkan antara aqiqah dan qurban ke panitia kurban (Idul Adha) di masjid?,
Jawaban:Allah Ta’ala mensyariatkan berqurban dalam firmanNya, artinya, “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2), dan FirmanNya, Artinya, “Dan kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah.” (al-Hajj: 36). Hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah Ta’ala dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu. (Hadits Muttafaq ‘alaih) Adapun orang yang menghukumi wajib dengan dasar hadits, “Siapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjidku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Bagaimana Penggabungan Aqiqah dan Qurban? Ibnul Qayyim rahimahullah telah membahas masalah ini dalam kitabnya (Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud dalam pembahasan ‘hukum menggabungkan aqiqah dengan qurban’), maka beliau meriwayatkan beberapa pendapat Imam Ahmad bin Hambal, dan salah satu riwayat dari beliau yang disebutkan adalah : Berkata Abu Abdillah Al Imam Ahmad bin Hanbal -Rahimahullah : “Aku berharap qurban mencukupi dari aqiqah -insya Allah, bagi siapa yang belum aqiqah ” Dan Ibnul Qoyyim -Rahimahullah berkata : “Jika seseorang berqurban dan berniat sebagai aqiqoh dan qurban maka hal itu terjadi untuk keduanya sebagaimana seorang yang shalat dua rakaat dengan niat tahiyatul masjid dan sunnah maktubah (rawatib) ”. Pendapat Boleh dan Tidaknya Ada dua pendapat ulama tentang masalah tersebut. Pendapat pertama mengatakan: Qurban juga mencukupi Aqiqah. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah dan beberapa ulama seperti Hasan Basri, Ibnu Sirin, Qatadah dan lain-lain [Lihat: Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1409 H, Ini masalah manggabung dua niat dalam satu ibadah yang sejenis maka sah, seperti seseorang yang masuk ke masjid lalu dia niat sholat tahiyatul masjid dan sunnah rawatib maka sah dan mendapatkan pahala keduanya, begitu juga seorang yang melakukan haji tamattu’ ketika menyembelih dam dia meniatkan qurban, maka dia mendapatkan keduanya. Banyak sekali contohnya, termasuk juga sholat ied pada hari Jum’at, maka diperbolehkan tidak sholat Jum’at. Pendapat kedua mengatakan tidak sah. Ini pendapat Imam Malik dan juga Imam Syafi'i. Pendapat kedua ini juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Alasannya karena keduanya mempunyai tujuan yang berbeda dan sebab yang berbeda, itu mirip dam tamattu’ dan fidyah, maka tidak bisa saling mencukupi dan harus dilaksanakan sendiri-sendiri. Qurban adalah tebusan untuk diri sendiri sedangkan Aqiqah adalah tebusan untuk anak yang lahir, dengan menggabungkannya, akan mengaburkan tujuannya [Lihat: Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits dan juga Lihat: Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam]. Ini berbeda dengan menggabung dua sholat sunnah, karena tahiyatul masjid bukanlah sholat yang menjadi tujuan utama, itu hanya pelengkap masuk masjid sehingga bisa terlaksana bersama dengan sholat lainnya. Jalan Keluar dari Masalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak? Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya. Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki)sebagaimana di dalam Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H. Kesimpulan Dari dua pendapat di atas, sebagaimana pendapat Imam Syafi'i maka lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada. Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban. Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan). Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Selasa, 08 Oktober 2013
Memahami Cara Mendaftar Haji
Selamat menunaikan ibadah haji,
Namun sekarang ini masih banyak yang belum diketahui semua umat Islam di Indonesia. Sehingga masih banyak kasus penipuan pemberangkatan haji di negara kita di setiap musim haji.
Melaksanakan ibadah haji ada dua cara. Pertama dengan cara pembayaran ONH (Ongkos Naik Haji) Biasa dan kedua ONH Plus. Perbedaan keduanya pada cara setoran pendaftaran, jumlah pembayaran, dan fasilitas yang didapat selama di tanah suci tentu berbeda jauh. Peserta ONH Biasa akan menginap selama 40 hari di tanah suci sedangkan ONH Plus cukup 21 hari saja.
Cara Daftar ONH Reguler (biasa)
Untuk ONH Biasa, calon haji sebaiknya melakukan sendiri membuka tabungan haji di bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN dan bank-bank lain yang telah ditunjuk Kementerian Agama untuk bekerja sama menerima setoran ONH.
Tabungan haji dapat disetor minimal Rp 50.000, setelah mencapai Rp 25 juta, calon haji baru mendapat nomor porsi haji untuk mengikuti antrian pemberangkatan haji di tahun berikutnya. Sekarang ini antrian haji biasa sudah mencapai tujuh sampai lima belas tahun di setiap propinsi di Indonesia. Jika sudah mencapai nominal Rp 25 juta, berikut langkah selanjutnya:
1. Membuat surat keterangan domisili untuk haji yang ditandatangani camat dan bermaterai Rp 6.000, Pastikan bahwa KTP dan Surat Domisili wilayah alamatnya sama, misalnya tinggal Perumahan Tjitra Mas Residence maka surat domisili minta ke Kepala Desa Kalisuren dan Camat Tajurhalang
2. Daftar ke Kementerian Agama Kabupaten, untuk Kabupaten Bogor kantor berada di kompleks perkantoran Pemda Tegar Beriman. Dengan membawa berkas berikut:
a. Foto Kopi KTP
b. Surat Domisili bermaterai Rp. 6000
c. Foto Kopi Kartu Keluarga
d. Foto Kopi Surat Nikah
e. Foto Kopi Akta Kelahiran / Ijazah
f. Surat Keterangan Sehat dari Dokter
g. Foto Kopi Rekening Tabungan Haji
3. Setelah di Kemenag Kabupaten, mengisi formulir pendaftaran dan akan diberikan waktu di esok harinya guna pengambilan foto dan sidik jari di bagian SISKOHAT (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu)
4. Calon Jamaah Haji diberikan bukti pendaftaran Siskohat untuk diserahkan kepada Bank tempat membuka rekening ONH. Dari sinilah para jamaah bisa dianggap sudah mendapatkan porsi berangkat haji.
Berapa lama Menunggu Berangkat?Untuk jumlah antrian di wilayah Kabupaten Bogor pada September 2013, sudah mencapai kisaran 27.000 jamaah. Sedangkan kuota tiap tahun untuk wilayah Kabupaten Bogor adalah 3.500, sehingga dengan asumsi mendaftar pada akhir 2013, maka akan berangkan sekitar 8 tahun lagi.
Qurban dan Kisah Habil-Qabil
Ajaran qurban yang disyari'atkan dalam Islam sesungguhnya telah jauh mengakar dalam sejarah umat manusia. Tercatat dalam sejarah, bahwa ibadah qurban telah dimulai sejak nenek moyang manusia pertama sebagaimana dikisahkan Al-Quran (Al-Maidah: 27).
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang mereka berdua (Habil) dan tidak diterima yang lain (Qabil)."
Dari kisah yang dapat dijumpai, para ahli tafsir menyatakan bahwa peristiwa qurban yang dilakukan dua bersaudara dari putra Adam As adalah merupakan solusi dari polemik perang dingin yang terjadi antara keduanya dalam mempersunting wanita cantik rupawan bernama Iklimah sebagai pasangan hidup.
Ucapan Nabi Adam As. yang bersumber dari wahyu yang disampaikan kepada kedua putranya, seperti dikutip tafsir Ibnu Katsir: "Wahai anakku (Qabil dan Habil) hendaknya masing-masing diantara kalian menyerahkan qurban, maka siapa diantara kalian berdua yang qurbannya diterima Allah SWT dialah yang berhak menikahinva (Iklimah)."
Pada akhir kisah disebutkan, ternyata qurban yang diterima Allah SWT adalah yang didasarkan atas keihlasan dan ketaqwaan kepada-Nya, yaitu qurban Habil yang berupa seekor domba yang besar dan bagus. Sementara qurban Qabil ditolak karena dilakukan alas dasar hasud (kedengkian). Karena kebakhilannya, ia juga memilihkan domba peliharaannya yang kurus untuk untuk diqurbankan.
Qabil yang kalah dalam sayembara qurban akhirnya ia memutuskan untuk membunuh saudaranva sendiri. Peristiwa ini adalah awal kali terjadinya pembunuhan dalam sejarah umat manusia.
Patut kita renungkan, mengapa Al-Quran melukiskan Habil sebagai orang yang lemah? Mengapa ia tidak mau membela diri ketika hendak dibunuh saudaranya ? Mengapa pula qurban Habil menyebabkan ia menjadi korban?
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa Habil tidak membela diri karena ia sengaja memilih kematian di tangan saudaranya. Ia ingin memberikan pelajaran kepada umat manusia bahwa pelaku kezaliman dan kedengkian tidak akan pernah menang untuk selama-lamanya. Bahwa kedengkian dan ketamakan adalah akar perseteruan dan permusuhan umat manusia di muka bumi.
Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,47426-lang,id-c,hikmah-t,Qurban+dan+Kisah+Qabil+Habil-.phpx
Senin, 07 Oktober 2013
Fogging Berkala Basmi Nyamuk
Perlu Peran Masyarakat
Untuk pencegahan demam berdarah di lingkungan warga, sudah saatnya dilaksanakan pengasapan (fogging) secara rutin dan terprogram. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi semua perangkat RT dan RW. Untuk kelancarannya dapat dilakukan kerjasama dengan pihak Puskesmas setempat. Semua tempat di lingkungan RT-RW terfogging seperti rumah warga, area fasum, masjid, taman bermain dan lahan pinggir sungai seharusnya ikut terkena pengasapan.
Untuk mencegah dan membatasi penyebaran penyakit DBD, setiap keluarga harus berpartisipasi dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD), yaitu dengan cara 3M :
1. Menguras tempat-tempat penampungan air seperti tempayan, drum, bak mandi/bak wc dan lain-lain atau menaburkan bubuk abate
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di dalamnya.
3. Mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan seperti kaleng-kaleng bekas, plastik bekas dan lain-lain.
Semoga dengan dilaksanakannya kegiatan ini dapat memperkecil berkembangnya nyamuk yang dapat menyebarkan penyakit demam berdarah di lingkungan kita.
Kajian 8 Kitab Taqrib: Istinja' (Bersuci Setelah Buang Air)
Di Rumah Bapak Ngatman (Ayah Hanif)Blok C2, Ahad/ 6 Oktober 2013
فصل) والاستنجاء واجب من البول والغائط والأفضل أن يستنجي بالأحجار ثم يتبعها بالماء ويجوز أن يقتصر على الماء أو على ثلاثة أحجار ينقي بهن المحل فإذا أراد الاقتصار على أحدهما فالماء أفضل.
ويجتنب استقبال القبلة واستدبارها في الصحراء ويجتنب البول والغائط في الماء الراكد وتحت الشجرة المثمرة وفي الطريق والظل والثقب ولا يتكلم على البول ولا يستقبل الشمس والقمر ولا يستدبرهما
Artinya: Instinja' (Jawa, cewok) atau membersihkan diri itu wajib setelah buang air kecil (kencing) dan buang air besar (BAB). Yang utama adalah bersuci dengan memakai beberapa batu[1] kemudian dengan air. Boleh bersuci dengan air saja atau dengan 3 (tiga) buah batu yang dapat membersihkan tempat najis. Apabila hendak memakai salah satu dari dua cara, maka memakai air lebih utama.
ETIKA KENCING DAN BUANG AIR BESAR (BAB)
Orang yang sedang buang air besar (BAB) hendaknya tidak menghadap kiblat dan tidak membelakanginya apabila dalam tempat terbuka. Kencing atau BAB hendaknya tidak dilakukan di air yang diam, di bawah pohon yang berbuah, di jalan, di tempat bernaung, di lobang. Dan hendaknya tidak berbicara saat kencing dan tidak menghadap matahari dan bulan dan tidak membelakangi keduanya.
PENJELASAN
Bersuci adalah wajib bagi segala bentuk kotoran dan najis berupa air kencing, tai, darah, dan lain-lain yang keluar dari salah satu kedua jalan, dimana penyuciannya dapat menggunakan air atau menggunakan batu atau sejenis batu, yaitu benda padat dan keras yang suci dan bukan benda yang dimulyakan menurut Islam.
Ada dua alat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci, yaitu air dan batu. Masing-masing memiliki syarat-syaratnya sendiri agar dapat digunakan sebagai alat untuk bersuci. Kita boleh bersuci hanya dengan menggunakan air yang telah memenuhi syarat untuk menghilangkan najis atau kotoran. Namun, yang lebih utama adalah menggunakan air dan batu sekaligus dalam mensucikan najis.
Caranya adalah pertama-tama dengan menggunakan batu agar dapat menghilangkan kotoran atau najisnya, dan kemudan langkah kedua disusul dengan menggunakan air agar dapat menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih ada atau masih menempel di badan. Namun sejatinya, jika hendak memilih salah satu dari air dan batu, maka yang lebih utama untuk bersuci adalah dengan menggunakan air. Meski dengan menggunakan batu juga boleh asalkan yang sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan tersebut.
Syarat-syarat Istinja dengan batu yaitu menggunakan minimal 3 batu dan keluarnya najis belum kering. Berkaitan dengan batu atau alatnya, maka harus bersih atau kering, padat kasar atau bersifat kasat, sekaligus bukan barang berharga.
Jumat, 04 Oktober 2013
Pemekaran RT/RW di Perumahan Tjitra Mas Residence
Direncanakan 2 RT dan 1 RW
Jumlah Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di lingkungan Perumahan Tjitra Mas Residence hampir dipastikan bertambah akibat adanya pemekaran. Setidaknya nanti akan 1 (satu) RW untuk akhir tahun 2013 ini.
Ketua RT 04/01, Yayan Nurjaman, Ahad (29/9) menyampaikan, pemekaran RT/RW dilakukan berdasarkan keputusan kepala desa Kalisuren, Dadang H. Komad yang diusulkan dari kewilayahan. Pematangan persiapan pemekaran akan disiapkan setelah kepala desa pulang dari haji. “Pemekaran di lingkungan perumahan Tjitra Mas Residence akan dilakukan setelah Perumahan BIP juga mengalami pemekaran. Target keduanya itu adalah sebelum 29 Desember karena adanya pemilihan kepala desa yang baru,” ujar Yayan Nurjaman.
Jumlah pemekaran RT yakni dari 1 RT yang berinduk pada RW 01 yang saat ini diketuai Idris H. Maid, akan menjadi 2 RT dan membentuk RW baru dalam urutan ke-17 jika dibentuk setelah RW di BIP. Namun jika lebih dulu dibentuk sebelum kompleks perumahan BIP maka akan menjadi RW ke-16.
Permasalahanya, batas wilayah pemekaran antara bakal RT 1 dan RT 2 di lingkungan perumahan Tjitra Mas Residence belum ada kesepakatan. “Apakah berdasarkan blok atas dan blok bawah atau blok kanan dan blok kiri” tutur sebagian warga yang hadir dalam pengajian rutin malam senin di rumah Rifaan (blok B2).
Demikian juga perlu ditindaklanjuti proses penyaringan kandidat, persyaratan kandidat ketua RT dan ketua RW, proses pemilihan, panitia pemilihan, dan penetapan jadwal pemilihan. Kesemuanya itu tentu membutuhkan adanya koordinator melalui panitia yang ditetapkan oleh pemegang kewenangan wilayah, ketua RT 04/01 saat ini.
Kamis, 03 Oktober 2013
Bagian 7 Kitab Taqrib: Sunah Dalam Wudhu
Di Rumah Bapak Rifa'an, Ahad/ 29 September 2013
(فصل) وسننه عشرة أشياء التسمية وغسل الكفين قبل إدخالهما الإناء والمضمضة والاستنشاق ومسح جميع الرأس ومسح الأذنين ظاهرهما وباطنهما بماء جديد وتخليل اللحية الكثة وتخليل أصابع اليدين والرجلين وتقديم اليمنى على اليسرى والطهارة ثلاثا ثلاثا والمولاة
Artinya
Sunnahnya wudhu ada 10 (sepuluh):
1. membaca bismillah,
2. membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkan ke wadah air,
3. berkumur,
4. menghirup air ke hidup,
5. mengusap seluruh kepala,
6. mengusap kedua telinga luar dalam dengan air baru,
7. menyisir jenggot tebal dengan jari,
8. membasuh sela-sela jari tangan dan kaki,
9. mendahulukan bagian kanan dari kiri,
10. menyucikan masing-masing 3 (tiga) kali, bersegera.
Langganan:
Postingan (Atom)