Mari Makmurkan Masjid dengan Sholat Berjamaah di Masjid

Jumat, 17 Juni 2016

Mukhalafatu Lil Hawaditsi

Pengajian Ba'da Subuh Ramadhan
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لَيْسَ مُمَـاثِلاً لِلْحَوَادِثِ فَلَيْسَ لَهُ يَدٌ وَلاَ عَيْنٌ وَلاَ أُذُنٌ وَلاَ غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ صِفَـاتِ الْحَوَادِثِ وَضِدُّهَا الْمُمَاثَلَةُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُمَاثِلاً لِلْحَوَادِثِ لَكَانَ حَادِثًا وَهُوَ مُحَالٌ
Dan wajib dalam haqnya Allah yaitu sifat Mukholafatu lil Hawaditsi. Arti sifat ini adalah Allah tidak ada keberadaanNya menyerupai atas perkara yang baru. Maka dari itu, Allah mustahil disifatkan Mumatsalah Lil Hawadits (sama dengan makhluk yang baru) seperti memiliki tangan, mata, telinga, dan perkara yang seperti sifat-sifat baru. ليس كمثله شئ وهو سميع البصير (الشورى :
١١
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Asy-Syura: 11)
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya” (QS Al-Ikhlash: 4)
Mushannif (Imam Nawawi Al-Bantany) memberi contoh bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak ada telinga dan tidak ada perkara yang sejenisnya.
Apabila ada (nash) dalam alqur’an atau dalam al-hadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa Allah menyerupai makhluk, hal tersebut ada dua sorotan:
1. Menurut ulama kholaf, (nash) al-qur’an dan al-hadits mesti di(ta’wil), dengan kata lain mesti disalurkan dengan makna yang layak terhadap Allah.
2. Menurut ulama salaf, (nash) al-qur’an dan al-hadits mesti di(tawidl), dengan kata lain nash ini mesti dibekukan serta diserahkan kepada Allah maknanya, karena khawatir menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.
Contoh nash yang menyerupai terhadap Allah, yaitu
yadulloh, asal arti tangan Allah
ainulloh, asal arti mata Allah
wajhulloh, asal arti wajah Allah.
Kita ambil perumpamaan matahari dan bulan.
Pada malam hari kita melihat bulan bersinar menyinari bumi. Sinarnya masuk ke dalam lubang ventilasi rumah, kemudian mengenai cermin almari dan selanjutnya oleh cermin tersebut sinar bulan dipantulkan ke lantai. Lantai akan menjadi terang karenanya.
Lantai menjadi terang karena pantulan cahaya cermin, cermin bersinar karena cahaya bulan, sedangkan bulan memantulkan cahaya dari matahari. Dalam hal ini matahari kita sebut sebagai sumber cahaya yang pertama, sedangkan bulan yang kedua, cahaya cermin hanya merupakan bias saja dari cahaya matahari. Samakah cahaya bulan, cahaya cermin dengan cahaya matahari yang medrupakan sumber cahaya? Tidak.
Bahkan bulan dan cermin pada hakikatnya tidak memiliki cahaya. Cahaya bulan dan cermin adalah milik matahari. Maka salahkah jikalau ada orang yang berkata: “ Sebenarnya yang menyinari lantai bukan cermin ataupun bulan, melainkan matahari.”
Cahaya matahari dalam perumpamaan di atas disebut cahaya hakiki sedangkan cahaya selainnya disebut cahaya majazi. Dalam perumpamaan di atas bisa kita kembangkan lebih jauh lagi. Sinar matahari bisa dimanfaatkan berbagai keperluan. Seperti dijadikan penggerak mobil tenaga surya, kalkulator dan lain-lain. Hakikat sinarnya tetap satu tidak berubah-ubah. Tetapi bentuk pancarannya bermacam-macam.
Intinya tetap satu yang tidak bisa diserupakan, yaitu Tenaga Inti Matahari. Jadi yang berbeda satu sama lain adalah bentuk pancarannya.
TMR Kalisuren, 9 Juni 2016, pukul 05:10 - 05:45 WIB
Tijan Durori Fasal sifat Mukholafatu Lil Hawadisi

Tidak ada komentar: