Mari Makmurkan Masjid dengan Sholat Berjamaah di Masjid
Jumat, 17 Juni 2016
Qiyamu Bi Nafsi
Pengajian Ba'da Subuh Ramadhan
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْقِيَامُ بِالنَّفْسِ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لاَيَفْتَقِرُ اِلى مَحَلٍ وَلاَاِلى مَخَصِّصٍ وَضِدُّهُ اَلإِحْتِيَاجُ اِلى الْمَحَلِ وَالمَخَصِّصِ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ احْتَـاجَ اِلى مَحَلٍ لَكَانَ صِفَةً وَكَونُهُ صِفَة مُحَال وَ لَوْ احْتَـاجَ اِلى مَخَصِّصٍ لَكَانَ حَادِثًـا وَكَونُهُ حَادِثًـا مُحَالٌ وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى
Wajib dalam haqnya Allah yaitu sifat al-qiyamu binnafsi (berdiri sendiri), yang bermakna sesungguhnya Allah tidak butuh tempat dan tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya. Lawan dari sifat ini adalah al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh terhadap yang menentukan. Dalil yang memperkuat sifat alqiyamu binnafsi adalah jika Allah membutuhkan tempat maka terbukti bahwa Allah sama dengan makhluk, sedangkan sifat tersebut merupakan kemustahilan.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 21)
Maksud al-qiyamu binafsi bukan berarti Allah berdiri yang asalnya tidak ada kemudian dengan sendirinya menjelma, tetapi berdiri dengan dzat-Nya sendiri, berupa adanya Allah tidak membutuhkan yang menciptakan, adanya Allah tidak membutuhkan yang menentukan, dan adanya Allah tidak membutuhkan tempat untuk menetap.
Tidak butuhnya tempat bagi Allah itu menjauhkan sifat kemustahilan dari pertanyaan dimana, yang berhubungan dengan depan, belakang, kiri, kanan, atas, bawah, luar, dalam, menempel, dan berpisah. Hal demikian untuk menjadi parameter bahwa Allah benar-benar tidak membutuhkan tempat, sedangkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an itu bersifat mutasyabihat yang tidak dapat menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
1. Jika Allah bersemayam di arsy, maka arsy itu harus bersifat lebih duluan dari adanya Allah. Bagaimana Allah ketika arsy belum diciptakan?
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (Surat Thaha ayat 5)
2. Jika Allah berada di langit, bagaimana dengan di bumi? Jika Allah berada di bumi, bagaimana dengan di langit? Padahal diriwayatkan bahwa setiap sepertiga malam terakhir Allah turun ke langit bumi.
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَٰهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَٰهٌ ۚوَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (Surat Az-Zukhruf ayat 84)
3. Jika manusia menghadapkan diri ke manapun, maka di situlah wajah Allah. Dalil ini seolah menjadi penguat bahwa Allah ada di mana-mana. Dan itu adalah kemustahilan yang tidak sesuai sifat Qiyamu Binafsi.
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (Surat Al-Baqarah ayat 115)
4. Jika hamba-Nya bertanya tentang Dia, maka Rasulullah mendapatkan wahyu bahwa Allah itu lebih dekat daripa urat leher manusia.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (Surat Qaaf ayat 16)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ (Surat Al-Baqarah ayat 186)
5. Allah itu bersama kamu di mana saja kamu berada.
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚوَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (Surat Al-Hadid ayat 4)
Perbedaan pemaknaan dari beberapa dalil terkait keberadaan Allah, ulama Asy’ariyah menjelaskan bahwa terdapat makna qorib (denotatif) dan makna ba’id (konotatif). Hal ini sebagaimana di masyarakat umum bisa disebutkan ada orang yang panjang tangan karena memang asli tangannya panjang, namun istilah panjang tangan juga diartikan sebagai orang yang suka mencuri. Hal tersebut juga sama ketika menyebutkan yang di atas, yang dapat diartikan sebagai penunjuk arah dan pada sisi lainnya adalah kekuasaan yang paling berkuasa.
TMR Kalisuren, 10 Juni 2016, Pukul 05:15 - 05:50
Kitab Tijan Durori, fasal Sifat Qiyamu Binnafsi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar